trustnews.id

DJPb Bangka Belitung Menyambut 2026 dengan Optimisme
Doc, istimewa

TRUSTNEWS.ID - Pergeseran paradigma fiskal menuntut adaptasi daerah. Bagi Bangka Belitung menjadi peluang menjaga layanan publik dan pembangunan ekonomi. Di tengah pembahasan anggaran nasional 2026 dan arah kebijakan fiskal, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada pada titik krusial untuk memastikan anggaran 2025 memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Syukriah HG, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Bangka Belitung, menegaskan bahwa meskipun ada penyesuaian transfer ke daerah, strategi fiskal tetap mengutamakan keberlanjutan layanan dasar dan penguatan ekonomi lokal.

Secara nasional, dana transfer daerah turun dari Rp919,8 triliun di tahun 2025 menjadi Rp693 triliun pada APBN 2026. Namun, Syukriah menegaskan bahwa penurunan ini diimbangi dengan fokus yang lebih tajam pada dampak untuk daerah.

"Meski nominal transfer berkurang, manfaatnya justru meningkat," ujarnya kepada TrustNews.

Program pemerintah pusat untuk subsidi, bantuan sosial, dan pendidikan melonjak lebih dari Rp400 triliun, menurutnya, menandakan pergeseran dari sekadar penyaluran dana ke memastikan setiap rupiah berdampak nyata.

Baginya, pendekatan fiskal yang baru ini menuntut adaptasi dari pemerintah daerah. Bagi Bangka Belitung, ini adalah peluang untuk memperkuat sinergi antara pusat dan daerah, memastikan layanan publik dan pembangunan ekonomi tetap kokoh.

“Di Kanwil DJPb, kami menjembatani pemerintah pusat dan daerah. Ini bukan kebijakan regional semata, melainkan kerangka nasional yang harus diterjemahkan dengan bijak di daerah,” kata Syukriah.

Di sisi pendapatan, menurutnya, Bangka Belitung menunjukkan kinerja kuat. Hingga September 2025, pendapatan negara mencapai 71,24% dari Pagu Rp3,602 triliun.

Angka ini didorong oleh pajak (Rp2,35 triliun atau 68,52% dari target, terutama dari PPN dan PPh) serta penerimaan bukan pajak (PNBP) yang melampaui target di Rp207,81 miliar dari Rp160,37 miliar.

Namun, belanja melambat, baru mencapai 69,90% dari alokasi Rp9,8 triliun, atau Rp6,85 triliun. Dari jumlah ini, belanja pemerintah pusat mencapai Rp1,89 triliun (58,73%), dan transfer daerah Rp4,95 triliun (75,38%).

"Pemerintah sedang memastikan belanja produktif dan tepat sasaran" jelas Syukriah.

“Program-program strategis nasional, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih (KMP), yang menjadi bagian dari implementasi Asta Cita Presiden, diharapkan dapat mendorong ekonomi lokal dengan mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Jika program ini berjalan baik, dampaknya akan signifikan bagi Babel," ujarnya.

Meski secara nominal nilai transfer berkurang di tahun 2026, namun masyarakat di daerah mendapat lebih banyak manfaat melalui program strategis nasional," tambahnya.

Bangka Belitung menghadapi tantangan ganda, yakni sektor pertambangan yang tertekan dan kebutuhan untuk mengembangkan sektor ekonomi baru.

"Kondisinya menantang, tapi kami melihatnya sebagai peluang untuk pertumbuhan inklusif," tegas Syukriah.

Secara nasional, menurutnya, kebijakan fiskal beralih ke pendapatan jangka menengah, mengurangi ketergantungan pada utang. Ini membuka akses pendanaan bagi usaha kecil dan menengah, mendorong penciptaan lapangan kerja.

"Ketika usaha tumbuh, lapangan kerja tercipta, pendapatan masyarakat meningkat, itu merupakan dampak yang kita harapkan bersama." katanya.

Di tingkat lokal, lanjutnya, DJPb Babel terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjelang penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA 2026 pada Desember 2025, memastikan kebijakan nasional selaras dengan realitas ekonomi Babel.

"Kami memastikan pesan fiskal tersampaikan kepada semua pemangku kepentingan," ujarnya.

Meski menghadapi tantangan ekonomi nasional dan restrukturisasi anggaran, menurutnya, Bangka Belitung mampu menyambut 2026 dengan optimisme.

Pertumbuhan ekonomi yang stabil, pendapatan daerah yang meningkat, dan keberlanjutan program sosial serta produktif menunjukkan bahwa keberhasilan fiskal tidak hanya diukur dari besarnya dana, tetapi dari dampaknya di lapangan.

"APBN bukan sekadar angka, ia adalah alat untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (TN)

Pergeseran paradigma fiskal menuntut adaptasi daerah. Bagi Bangka Belitung menjadi peluang menjaga layanan publik dan pembangunan ekonomi.

Di tengah pembahasan anggaran nasional 2026 dan arah kebijakan fiskal, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada pada titik krusial untuk memastikan anggaran 2025 memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Syukriah HG, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Bangka Belitung, menegaskan bahwa meskipun ada penyesuaian transfer ke daerah, strategi fiskal tetap mengutamakan keberlanjutan layanan dasar dan penguatan ekonomi lokal.

Secara nasional, dana transfer daerah turun dari Rp919,8 triliun di tahun 2025 menjadi Rp693 triliun pada APBN 2026. Namun, Syukriah menegaskan bahwa penurunan ini diimbangi dengan fokus yang lebih tajam pada dampak untuk daerah.

"Meski nominal transfer berkurang, manfaatnya justru meningkat," ujarnya kepada TrustNews.

Program pemerintah pusat untuk subsidi, bantuan sosial, dan pendidikan melonjak lebih dari Rp400 triliun, menurutnya, menandakan pergeseran dari sekadar penyaluran dana ke memastikan setiap rupiah berdampak nyata.

Baginya, pendekatan fiskal yang baru ini menuntut adaptasi dari pemerintah daerah. Bagi Bangka Belitung, ini adalah peluang untuk memperkuat sinergi antara pusat dan daerah, memastikan layanan publik dan pembangunan ekonomi tetap kokoh.

“Di Kanwil DJPb, kami menjembatani pemerintah pusat dan daerah. Ini bukan kebijakan regional semata, melainkan kerangka nasional yang harus diterjemahkan dengan bijak di daerah,” kata Syukriah.

Di sisi pendapatan, menurutnya, Bangka Belitung menunjukkan kinerja kuat. Hingga September 2025, pendapatan negara mencapai 71,24% dari Pagu Rp3,602 triliun.

Angka ini didorong oleh pajak (Rp2,35 triliun atau 68,52% dari target, terutama dari PPN dan PPh) serta penerimaan bukan pajak (PNBP) yang melampaui target di Rp207,81 miliar dari Rp160,37 miliar.

Namun, belanja melambat, baru mencapai 69,90% dari alokasi Rp9,8 triliun, atau Rp6,85 triliun. Dari jumlah ini, belanja pemerintah pusat mencapai Rp1,89 triliun (58,73%), dan transfer daerah Rp4,95 triliun (75,38%).

"Pemerintah sedang memastikan belanja produktif dan tepat sasaran" jelas Syukriah.

“Program-program strategis nasional, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih (KMP), yang menjadi bagian dari implementasi Asta Cita Presiden, diharapkan dapat mendorong ekonomi lokal dengan mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Jika program ini berjalan baik, dampaknya akan signifikan bagi Babel," ujarnya.

Meski secara nominal nilai transfer berkurang di tahun 2026, namun masyarakat di daerah mendapat lebih banyak manfaat melalui program strategis nasional," tambahnya.

Bangka Belitung menghadapi tantangan ganda, yakni sektor pertambangan yang tertekan dan kebutuhan untuk mengembangkan sektor ekonomi baru.

"Kondisinya menantang, tapi kami melihatnya sebagai peluang untuk pertumbuhan inklusif," tegas Syukriah.

Secara nasional, menurutnya, kebijakan fiskal beralih ke pendapatan jangka menengah, mengurangi ketergantungan pada utang. Ini membuka akses pendanaan bagi usaha kecil dan menengah, mendorong penciptaan lapangan kerja.

"Ketika usaha tumbuh, lapangan kerja tercipta, pendapatan masyarakat meningkat, itu merupakan dampak yang kita harapkan bersama." katanya.

Di tingkat lokal, lanjutnya, DJPb Babel terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjelang penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA 2026 pada Desember 2025, memastikan kebijakan nasional selaras dengan realitas ekonomi Babel.

"Kami memastikan pesan fiskal tersampaikan kepada semua pemangku kepentingan," ujarnya.

Meski menghadapi tantangan ekonomi nasional dan restrukturisasi anggaran, menurutnya, Bangka Belitung mampu menyambut 2026 dengan optimisme.

Pertumbuhan ekonomi yang stabil, pendapatan daerah yang meningkat, dan keberlanjutan program sosial serta produktif menunjukkan bahwa keberhasilan fiskal tidak hanya diukur dari besarnya dana, tetapi dari dampaknya di lapangan.

"APBN bukan sekadar angka, ia adalah alat untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (TN)