TRUSTNEWS.ID - Selama dua dekade terakhir, industri reasuransi Indonesia menjadi pasar yang paradoksal: berpotensi besar, namun sebagian nilai tambahnya justru mengalir ke luar negeri.
Diperkirakan sekitar 70% risiko bernilai tinggi—mulai dari infrastruktur energi, penerbangan, hingga pelayaran—masih ditempatkan melalui broker global seperti Aon, Guy Carpenter, dan Marsh Re yang beroperasi dan memiliki Regional Office di Singapura.
Para raksasa itu menguasai pasar berkat akses modal, jaringan global, dan kredibilitas rating yang sulit disaingi oleh pemain lokal.
Di tengah dominasi global itu, JBBoda Viva Indonesia Reinsurance Brokers tampil sebagai penantang yang percaya diri. Perusahaan ini berusaha menempatkan broker lokal bukan sekadar sebagai “penyalur risiko,” tetapi sebagai pencipta nilai dan pengelola pengetahuan risiko.
“Kalau kapasitas reasuransi selalu lari ke luar, kita hanya jadi pembeli risiko,” ujar Ricky S. Natapradja, Presiden Direktur JBBoda Viva Indonesia Reinsurance Brokers.
“Padahal SDM kita pintar, dan potensi pasarnya besar. Yang perlu dibangun itu kepercayaan dan data yang bisa dipercaya," urainya.
Sebagai broker reasuransi, JBBoda Viva bekerja di balik layar membantu perusahaan asuransi mengalihkan risiko, baik otomatis melalui treaty, maupun kasus khusus lewat facultative mencakup sektor industri, energi, kelautan, otomotif, dan keuangan.
Namun Ricky tidak ingin perusahaannya berhenti sebagai penghubung. Ia membentuk divisi specialty lines untuk lini berisiko tinggi seperti cyber risk, surety bond, asuransi kredit perdagangan, serta rekayasa (engineering).
“Khusus untuk cyber, kami bekerja sama dengan perusahaan IT forensik,” ujarnya.
"Kami ingin memberi klien nasihat pencegahan, bukan hanya polis," jelasnya.
Di tengah pasar yang dikuasai broker raksasa dunia, strategi JBBoda Viva adalah fokus pada kedalaman lokal dan ketepatan risiko.
Ketika reasuransi asing bisa menawarkan kapasitas global, tetapi mereka bergantung pada data sekunder dan perspektif regional. JBBoda Viva justru mengandalkan insight lokal—memahami geologi, cuaca, perilaku bisnis, hingga standar keselamatan industri Indonesia.
"Pasar luar negeri melihat Indonesia lewat statistik gempa, tsunami, volatilitas,' kata Ricky.
"Tugas kami membalik persepsi itu dengan data konkret dan logika underwriting yang masuk akal," jelasnya.
Perusahaan ini juga mengambil posisi berbeda dari broker multinasional dalam hal fleksibilitas biaya dan kecepatan eksekusi. Dengan tim yang lebih ramping dan basis operasi di Jakarta, JBBoda Viva dapat memberikan layanan lebih cepat dengan biaya yang kompetitif.
"Di Singapura, gaji manajer bisa 10.000–19.000 dolar per bulan. Di Indonesia tidak sampai sepertiganya, tapi kualitas SDM-nya tinggi," ujarnyas.
"Cost of living rendah, kompetensi tinggi itu peluang investasi besar," ungkapnya.
Ricky tega menolak pendekatan “perang harga” yang dulu merusak pasar asuransi.
"Tiga tahun lalu, suku premi untuk Asuransi rangka kapal & mesin (Marine Hull & Machinery Insurance) sampai hancur," kenangnya.
"Sekarang rate naik hampir dua kali lipat, karena kami edukasi pasar bahwa premi murah itu berisiko."
JBBoda Viva hanya bekerja dengan reasuradur berperingkat minimal A– dari Standard & Poor’s, Fitch, atau Moody’s.
"Barang bagus ada harganya”, ujarnya setengah berseloroh.
"Kalau reasuransi abal-abal, begitu ada klaim besar, semua bisa berantakan," ujarnya.
Di sinilah perbedaan paling jelas antara broker global dan lokal. Para pemain besar mengandalkan brand dan sistem global.
Sedangkan JBBoda Viva membangun kepercayaan berbasis kedekatan pasar dan edukasi klien.
"Kami mendidik perusahaan asuransi untuk memahami nilai premi Reasuransi yang wajar. Bukan sekadar menutup transaksi, tapi membangun disiplin pasar,” ujarnya.
Perubahan itu perlahan terlihat. Volume penempatan JBBoda Viva meningkat stabil dalam tiga tahun terakhir, sementara loss ratio beberapa klien utamanya turun.
Edukasi tentang manajemen risiko mulai membuahkan hasil. Perusahaan asuransi kini lebih hati-hati menentukan tarif dan memilih mitra reasuransi.
"Kita ingin Indonesia dikenal bukan sebagai pasar murah, tapi sebagai pasar dengan data yang solid," ujarnya.
" Kita harus jadi bagian dari rantai nilai global, bukan hanya pintu masuk risiko," tegasnya.
Dengan fokus pada specialty lines, kualitas data, dan penguatan kapasitas domestik, JBBoda Viva menempatkan diri di persimpangan penting: antara dominasi global dan kebangkitan lokal.
"Tidak ada yang berdoa untuk musibah. Tapi bisnis ini bukan soal keberuntungan melainkan soal bagaimana risiko dipahami, dikelola, dan dipercaya," pungkasnya. (TN)










