TRUSTNEWS.ID – Pagi di Porong, Sidoarjo, masih berdenyut trauma. Sembilan belas tahun silam, tanah retak seperti kulit ular kering, lalu menyemburkan lumpur panas yang menelan 16 desa, 12 pabrik, dan mimpi ribuan jiwa.
Kini, pipa-pipa penampung LUSI menjulang bagai menara wastafel raksasa yang kelelahan, menyimpan lautan abu-abu yang tak pernah diam. Di kejauhan, deretan truk HKSIS menggeram. Bukan lagi membawa jerit tangis korban, melainkan menjemput berkah dari perut bumi yang pernah mengamuk.
Aminudin Azis turun dari mobil dinas, sepatu bot hitamnya langsung tersedot lumpur setengah betis. Angin pagi membawa bau belerang dan harapan.
“Dulu orang bilang ini kutukan dewa,” katanya, suaranya parau oleh ingatan.
Jari telunjuknya menunjuk genangan keabu-abuan yang mengilat bagai cermin neraka di bawah matahari. “Sekarang, ini bahan bangunan yang akan membangun negeri,” lanjutnya.
Di laboratorium ITS Surabaya, seorang peneliti berdiri di depan tabung reaksi kecil, tangannya gemetar seperti malam pertama semburan 2006. Lumpur kering berubah jadi pasta kental setelah dicampur larutan alkali—seperti darah bumi yang bangkit kembali.
“Ini geopolimer,” ucapnya pelan. “Semennya nol. Emisinya nol. Kekuatannya 50 megapascal—cukup untuk menahan badai yang pernah menghancurkan segalanya.”
Sebagai peneliti muda yang dikirim ke lokasi bencana dengan helm dan sepatu pinjaman, petugas laboratorium masih menyimpan ketakutan malam itu. “Tapi silika dan aluminanya tinggi mirip fly ash. Seperti Tuhan memberi petunjuk di tengah malapetaka,” ujarnya.
Dari situlah lahir ide gila: lumpur yang menenggelamkan desa bisa jadi beton yang membangun jalan tol. Tak ubahnya penebusan dosa dari perut bumi.
Di pabrik HKSIS Tuban, mesin precast berputar bagai roda karma. Parapet jalan tol keluar dari cetakan, dingin saat disentuh, membawa aroma besi dan harapan.
“Sudah dipasang di tol Surabaya–Mojokerto,” kata Azis, matanya menyala. “Tiga puluh menit per unit. Kalau beton biasa, butuh tiga hari,” jelasnya.
Tapi perjalanan ini adalah neraka berlumpur. Awal uji coba, beton geopolimer retak seperti tulang patah saat kering.
“Saya telepon Pak Azis jam dua pagi,” kata Azis, meniru suara si peneliti. “‘Pak, ini retak semua! Kita gagal!’”
Azis diam tiga detik, lalu berkata sedikit ragu, “Tambah fly ash 20%.”
“Besok paginya, beres. Seperti mukjizat,” ujarnya.
Setelah ratusan malam tanpa tidur, rasio ideal ditemukan: 40% LUSI, 60% fly ash, NaOH 12 molar. Betonnya tahan asam, tahan garam, dan tahan ledakan. Cocok untuk breakwater atau proyek BP Tangguh, di mana kontraktor Jepang bayar tunai dan berkata:
“Ini beton paling tahan korosi yang pernah kami lihat. Seperti samurai tak pernah menyerah,” ujar Azis mengutip pujian dari si kontraktor.
Dari situlah Greenovation lahir. Bukan sekadar slogan hijau di logo, tapi darah daging bisnis yang gabungkan efisiensi biaya, inovasi teknis, dan tanggung jawab lingkungan dalam nafas penuh luka.
Istilah itu lahir pada 2022, saat margin tergerus dan tekanan ESG dari mitra BUMN datang bertubi-tubi. Pada momen itulah Azis menyadari, perusahaan tak bisa lagi sekadar memproduksi beton. Perusahaan harus membuktikan kepedulian pada jejak yang ditinggalkan. Greenovation menjadi jawabannya.
Lima pilar Greenovation dijalankan HKSIS hingga triwulan III 2025, seperti lima luka yang harus disembuhkan.
Pertama, produk rekayasa efisien: parapet tol precast dengan toleransi ±2 mm, dipasang tiga kali lebih cepat; panel dinding ringan dengan 15 persen fly ash yang menurunkan emisi CO₂ sebesar 12 persen per meter kubik; hingga sistem parkir modular vertikal yang menghemat lahan 70 persen.
Kedua, digitalisasi proses: sensor IoT real-time di batching plant, AI prediksi semen ±3%—reject rate turun dari 2,1% jadi 0,4%.
Ketiga, ekonomi sirkular limbah ban: 40% ban divulkanisir, 60% jadi crumb rubber untuk aspal—biaya Rp18 miliar/tahun jadi laba Rp1,2 miliar.
Keempat, rehabilitasi lahan tambang: galian ditanami ulang 1,2 kali luasnya. Dua belas hektar reboisasi jati putih dan sengon sejak 2024, biaya Rp450 juta/tahun jadi capex hijau untuk insentif pajak.
Kelima, social license Rp500 juta/tahun untuk panti asuhan, 45 ekor kurban tiap Idul Adha, 120 pemuda dilatih vokasi—65% jadi karyawan tetap.
“Greenovation dimulai dari logo,” kata Azis dengan, suara bergetar oleh beban 19 tahun.
Di Porong, lumpur masih menggelegak seperti dendam. Tapi kini, setiap truk datang bukan bawa malapetaka, melainkan masa depan dari puing masa lalu.
“Mereka bilang, ini beton paling tahan korosi yang pernah kami lihat,” pungkasnya. (TN)










