trustnews.id

Misi DJPb Jatim 2026: Serap Cepat Anggaran APBN
Doc, istimewa

TRUSTNEWS.ID - Langkah pemerintah pusat untuk memangkas porsi transfer ke daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 tengah mengguncang ruang diskusi fiskal di berbagai provinsi.

Berdasarkan dokumen RAPBN 2026 yang telah dibahas dalam Sidang Kabinet dan Nota Keuangan Presiden pada Agustus 2025, porsi TKD diproyeksikan turun sekitar 25–28% dari total alokasi sebelumnya, dari rata-rata 30–32% total APBN pada 2023–2025.

Penurunan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengalihkan dana dari transfer langsung ke mekanisme yang lebih terpusat, sehingga dapat mengatasi masalah penyerapan anggaran yang rendah di daerah.

Di tengah guncangan nasional itu, Jawa Timur—provinsi dengan populasi 42 juta jiwa lebih dan salah satu mesin ekonomi terbesar di Indonesia—merespons isu ini bukan sekadar sebagai wacana anggaran. Bagi provinsi ini, pemangkasan TKD menjadi soal arah baru dalam hubungan fiskal antara pusat dan daerah, yang berpotensi mengubah dinamika otonomi dan pembangunan lokal.

“Pemotongan transfer ke daerah ini digagas untuk APBN 2026, dan proses penyiapannya sudah dimulai sejak 2025,” ujar Saiful Islam, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) Provinsi Jawa Timur, kepada TrustNews.

“Tahapan ini masuk ke budget authorization, yaitu kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Artinya, keputusan politiknya sudah berjalan,” urainya.

Lebih jauh dijelaskannya, keputusan untuk merasionalisasi proporsi TKD diambil setelah evaluasi bertahun-tahun menunjukkan penyerapan dana transfer yang belum optimal. Banyak daerah belum mampu menyerap dana yang dialokasikan sepenuhnya dalam satu tahun anggaran.

“Di beberapa daerah, sebagian anggaran justru mengendap di kas daerah,” jelasnya.

Dari evaluasi itu, lanjutnya, pemerintah merumuskan mekanisme baru: sebagian dana yang sebelumnya ditransfer langsung ke daerah akan dialihkan ke program kementerian atau lembaga di daerah, berdasarkan usulan kebutuhan dari pemerintah daerah.

“Pendekatannya bukan memangkas bantuan, melainkan switching mechanism,” jelasnya.

“Tetap disalurkan ke daerah, tapi melalui mekanisme pusat agar lebih terukur dan cepat terserap,” ujarnya.

Untuk diketahui, dalam rancangan RAPBN 2026 yang sudah beredar di publik, porsi TKD diperkirakan sekitar 17,16% dari total pagu belanja APBN. Angka ini menurun dibanding beberapa tahun terakhir.

Bagi Jawa Timur, yang pada 2024 menerima TKD sebesar Rp82,46 triliun, kebijakan baru ini menjadi tantangan besar dalam menjaga stabilitas fiskal dan kelancaran program pembangunan daerah. Di sisi lain, proyeksi realisasi APBN 2025 mencapai Rp3.527,5 triliun menandakan fiskal nasional tetap ekspansif.

“Dengan restrukturisasi TKD ini, pemerintah ingin memastikan bahwa setiap rupiah belanja negara benar-benar memberi dampak nyata di lapangan, bukan hanya berhenti di neraca,” tegasnya.

Saiful menjelaskan, dalam arsitektur keuangan negara, budget cycle memiliki empat tahap, yakni preparation, authorization, execution, dan accountability.

“Dua fase terakhir itu merupakan tugas yang melekat pada Ditjen Perbendaharaan dan mendukung kredibilitas fiskal negara,” jelasnya.

Ditambahkannya, fungsi utama DJPb bersumber dari dua mandat besar Menteri Keuangan, yakni pengelola fiskal dan bendahara umum negara (state treasurer).

“Kalau kementerian teknis mengelola program, kami memastikan uangnya tersedia saat diperlukan,” katanya.

Sebagai provinsi dengan basis industri dan pertanian yang kuat, Jawa Timur adalah wilayah dengan ekosistem fiskal paling kompleks di luar Jakarta. Dari Pacitan hingga Sumenep, Kanwil DJPb membawahi 15 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)—jumlah terbanyak di Indonesia, sejajar dengan Jawa Tengah. Melalui jaringan inilah setiap program kementerian dan lembaga dieksekusi.

“Dengan nilai APBN yang disalurkan di Jawa Timur mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, kecepatan realisasi dan ketepatan sasaran namun tetap akuntabel sangat penting,” ujarnya.

“Sedikit lengah, kredibilitas fiskal bisa goyah. Kalau satu simpul tersendat, efeknya langsung terasa di layanan publik,” ujarnya.

“Fiskal itu seperti darah, kalau mengalir lancar, ekonomi sehat. Kalau tersumbat, semua ikut melemah,” pungkasnya. (TN)