trustnews.id

Tambang Tunas Inti Abadi Berhenti Beroperasi 2024
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID,. – Pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED), yang dibentuk pada tahun 1983, menerbitkan laporan berjudul “Our Common Future / Masa depan kita bersama”.

Laporan Brundtland yang diambil dari nama ketua Komisi, Gro Harlem Brundtland, ini mendefinisikan “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.”

"Jika mengadopsi penjelasan mengenai Pembangunan Berkelanjutan dari Komisi Brundtland, maka Tunas Inti Abadi (TIA) memaknai pertambangan berkelanjutan sebagai ”pertambangan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini akan energi (batubara), tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka," ujar Budi Patria, Kepala Teknik Tambang TIA menjawab TrustNews.

"Ada dua makna pokok terkandung dalam definisi ini. Pertama, aktivitas penambangan itu harus memperhatikan lingkungan. Kedua, pembangunan itu harus mampu meningkatkan taraf kehidupan manusia," tambahnya.

Operasional TIA, lanjutnya, dilakukan dengan sistem tambang terbuka. Sebuah proses pertambangan dengan pemindahan lapisan tanah penutup (overburden removal) diperlukan. Untuk itu desain tambang dan manajemen tanah pucuk (top soil) memegang  peran penting.

"Setelah batubara diekstraksi, lubang tambang ditutup dengan tanah lapisan atas yang semula dipindahkan ke bank soil." jelasnya. Tahap selanjutnya, proses reklamasi. Proses dimulai dari pengolahan tanah hingga penebaran bibit sesuai rona awal. Hingga saat ini, TIA telah melakukan reklamasi seluas 834 hektar lahan bekas tambang. "Reklamasi di luar areal tambang juga dilakukan untuk merehabilitasi daerah aliran sungai," ungkapnya.

Budi mengatakan  kegiatan penambangan TIA menghasilkan efluen dengan karakteristik khusus, yaitu tingkat keasaman yang tinggi atau padatan tersuspensi yang signifikan. Untuk itu, TIA berupaya mencegah pelepasan pencemaran dan Budi Patria, Kepala Teknik Tambang TIA. Foto dok. TIA mengurangi beban lingkungan pada air permukaan dengan memasang sistem pengolahan air tertutup.

"Semua air yang keluar dari area penambangan diuji setiap bulan untuk memastikan bahwa kualitasnya sesuai dengan Baku Mutu Air yang berlaku," ucapnya. "Fokus kami saat ini adalah mempersiapkan sebaik mungkin tahapan pasca tambang, mengingat di tahun 2024, tambang TIA akan berhenti beroperasi," ungkapnya.

Ditegaskan Budi, TIA menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dalam membangun hubungan dengan pemangku kepentingan di berbagai tingkatan mulai dari masyarakat lingkar tambang, pemerintah daerah, Lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan Kementerian yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. "Bagi TIA ini penting untuk membangun kepercayaan, agar para pemangku kepentingan juga dapat memberikan umpan balik atas praktek pertambangan yang kami lakukan," tegasnya.

Dalam upaya perusahaan memastikan bahwa operasinya mematuhi regulasi lingkungan dan keselamatan kerja, menurutnya, TIA percaya bahwa rendahnya angka kecelakaan kerja terkait dengan tren positif semangat dan produktivitas.

Dalam upaya tersebut, Perseroan menggunakan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan yang sesuai dengan peraturan dan pedoman praktek pertambangan yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Selain Sistem Manajemen dan Sistem Operasi Pertambangan Mineral Terpadu (SMKP- Minerba), TIA telah memperoleh sertifikasi ISO 9001:2015, ISO 14001:2015, dan OSHAS 18001:2007 dan dilakukan resertifikasi tahun 2022 menjadi ISO 9001:2015, ISO 14001:2015, dan ISO 45001:2018. 

"Tantangan terbesar tentu saja adalah periode pasca tambang, kami ingin agar TIA tetap dikenal lewat praktek-praktek tata kelola yang telah dilakukan. Oleh karena itu, kami ingin memastikan pendayagunaan atas aset, infrastruktur dan sumber daya manusia yang kami miliki memberikan manfaat kepada seluruh pemangku kepentingan," pungkasnya.