TRUSTNEWS.ID - Pagi baru saja merekah di pinggiran Bekasi. Kabut tipis masih bergelayut di antara deretan rumah bersubsidi yang belum berpenghuni. Catnya masih segar, gentengnya berbaris rapi seperti harapan yang disusun pelan-pelan.
Di depan salah satu rumah, brosur yang tertinggal di pagar menampilkan janji manis: Cicilan ringan, rumah impian. Janji itu kini terlipat di bawah sinar matahari yang hangat tapi getir, karena rumahnya sudah jadi, tapi penghuninya belum datang.
Di balik brosur warna-warni itu, antrean panjang pemohon rumah justru menumpuk di meja bank dan aplikasi daring yang tak kunjung menyala hijau. Peminat yang menunggu bukan segelintir, tapi ribuan—buruh, pegawai toko, sopir ojek daring—semuanya tersangkut dalam sistem yang lebih sibuk memeriksa skor kredit ketimbang menghitung kebutuhan hidup.
Bagi Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas), ironi ini bukan lagi berita.
"Tahun lalu kami membangun 9.000 rumah subsidi dan 2.000 rumah komersial. Tahun ini targetnya 20.000 unit, tapi baru 7.500 yang benar-benar terealisasi,” kata Muhammad Syawali Pratna, Ketua Umum Asprumnas kepada TrustNews. “Semangatnya besar, tapi sistemnya menahan," keluhanya.
Masalahnya bukan di 'kantong' calon konsumen. Tapi di sesuatu yang jauh lebih abstrak: Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik OJK. Di sana, setiap calon pembeli rumah mesti melewati penilaian kelayakan kredit. Sekali ada catatan tunggakan, sekecil apa pun, mereka bisa langsung tersingkir.
Menurutnya, data kategori yang paling sering jadi batu sandungan disebut 'kol 5'. Kode untuk nasabah dengan catatan kredit macet. Dijelaskannya, dalam sistem perbankan, kol 5 berarti non performing loan alias utang yang dianggap hampir tak mungkin tertagih. Status ini disamakan, entah karena efisiensi atau kemalasan sistem, baik untuk mereka yang menunggak miliaran maupun yang hanya terlambat membayar Rp200 ribu.
"Banyak yang ditolak karena kol 5. Padahal utangnya kecil sekali," ungkapnya.
Melihat kondisi itu, menurutnya, Asprumnas kini mengusulkan agar aturan itu dilonggarkan. Asosiasi ini meminta calon penerima rumah subsidi dengan utang macet di bawah Rp1 juta tetap diberi akses.
"Kalau pinjamannya sejuta, masa disamakan dengan yang triliunan?" ujarnya bertanya. "Asprumnas sudah menyampaikannya ke Kementerian Keuangan," tambahnya.
Diungkapnya, kebutuhan rumah rakyat terus meningkat antara 600 hingga 700 ribu unit per tahun. Angka yang seharusnya jadi sirene sosial, kini hanya jadi statistik di layar presentasi kementerian.
Sebelumnya, Asprumnas sempat meminta bank melonggarkan penilaian scoring dari 30 ke 60 agar lebih banyak pekerja bisa lolos verifikasi. Tapi bank menolak. Alasannya sederhana, rasio penghasilan terhadap cicilan tidak memenuhi syarat.
"Padahal kalau datanya valid, mereka sebenarnya mampu. Masalahnya, sistem lebih percaya angka daripada hidup," keluhnya.
Asprumnas mencoba menjembatani jurang itu. Mereka menyusun data, melobi kementerian, mengajukan pelonggaran. Kadang, katanya, rakyat bukan tak mau bayar—hanya tak dipercaya bisa.
"Negara ini terlalu takut memberi kepercayaan pada rakyat kecil," ujar Syawali, pelan tapi tajam. "Padahal yang mereka minta bukan subsidi tanpa batas, hanya kesempatan untuk dipercaya," tegasnya.
Kini, program perumahan rakyat lebih banyak menghasilkan rapat daripada rumah. BP Tapera sibuk memperbaiki sistem, OJK menjaga kehati-hatian, bank menghitung risiko. Sementara rakyat menunggu dengan sabar yang perlahan berubah menjadi letih.
Asacita menjanjikan pemerataan, tapi yang merata baru formulir dan aturan, bukan kepemilikan rumah. Di antara ribuan nama yang tertahan di SLIK, tersimpan satu ironi yang manis getir: negara sudah membangun sistem perumahan, tapi belum membangun kepercayaan pada rakyatnya.
Dan di pagi Bekasi yang lain, di depan rumah yang masih kosong itu, brosur cicilan ringan, rumah impian kembali berkibar pelan tertiup angin. Janjinya tetap indah, meski penghuninya belum juga datang.
"Rakyat cuma ingin punya alamat tetap di tanahnya sendiri," ujarnya pelan. “Mereka (calon pembeli) tak membutuhkan belas kasihan. Hanya butuh sedikit kepercayaan," pungkasnya. (TN)








