trustnews.id

APKABEL MINTA PLN Kembali ke Open Book Sesuai PERPRES No.4/2016 dan PERMENPERIN No.15/2016
Noval Jamalullail

Penetapan pemenang melalui tender oleh PLN dinilai bertentangan dengan semangat pemerintah menumbuhkan industri kelistrikan nasional.

Ada peribahasa gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Barangkali itulah gambaran nasib perusahaan kabel di tanah air. Ini terkait dengan sistim pengadaan barang dana jasa yang berasal dari dalam negeri yakni Open Book. Tujuannya, agar industri kelistrikan nasional bisa tumbuh dan terlibat dalam peningkatan rasio elektrifikasi di Tanah Air.

Hal itu selaras dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Terkait hal itu, keluar Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2016 tentang Standar Spesifikasi dan Standar Harga Tower Transmisi dan Konduktor Produk Dalam Negeri Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Ketenagalistrikan.

Hanya saja dalam pelaksanaannya, Asosiasi Pabrik Kabel Indonesia (APKA BEL) melihat Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang beberapa tahun belakangan ini menggunakan Open Book berubah menjadi sistim pelelangan. Noval Jamalullail, Ketua Umum APKABEL menyebutnya hal ini mempunyai potensi bertentangan dengan Perpres No.4/2016 Pasal 15 dan 17.

“Di masa Pandemi Covid 19 ini, PLN sebagai BUMN Ketenagalistrikan terbesar yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah seharusnya sejalan dengan program pemerintah untuk dapat mempertahankan dan mendukung Industri Kabel agar tetap dapat hidup. Hal ini didukung dan dipermudah dengan adanya Perpres no.4/2016 dan Permenperin no.15/2016 yang telah menentukan pola open book serta penetapan spesifikasi dan harga satuan,” ujarnya kepada Trustnews.

"Kemenperin diberikan kewenangan untuk menentukan harga dan dikontrol oleh BPKP. Ini sudah berjalan baik sejak 2016 hingga 2019, kok di 2020 dan 2021 malah jadi aneh. PLN bikin tender," tambahnya.

Bagi Noval, kebijakan yang diambil PLN dengan menggelar tender justru tidak sejalan dengan niatan pemerintah agar industri kelistrikan nasional bisa tumbuh.

"PLN mengadakan tender dengan target harga sama atau lebih rendah dari harga Permenperin, sedangkan untuk pemenang dibatasi maksimal hanya 50% dari total peserta 22 perusahaan. Jadi bisa dibayangkan pada sebelum pandemi semua pabrik dapat kontrak atau order walau cuma sedikit, tapi di masa pandemi saat ini PLN hanya menetapkan pemenang 9 perusahaan dari total peserta 22 perusahaan" ungkapnya.

"Harusnya dalam kondisi pandemi, pakai Open Book semua perusahaan bisa dapat meski sedikit karena ada Perpresnya dan sebagai bentuk support PLN kepada perusahaan kabel yang sejak pandemi ini mengalami pemutusan hubungan kerja dan tutup. Bukannya di support malah PLN melakukan hal sebaliknya," tegasnya.

Masih dalam permasalahan Tender PLN, lanjutnya harga Aluminium sesuai LME Al di bulan Mei 2021 pada saat tender konduktor telah mencapai nilai USD 2450 atau telah naik lebih dari 40% dibanding harga pada Agustus 2019 yaitu pada nilai USD 1740. Hal ini sangat memberatkan pabrik kabel /konduktor karena kenaikan Aluminium tersebut dapat menyebabkan kenaikan harga konduktor ACSR/AS mencapai 20% s/d 30%, sementara itu PLN dalam dokumen tendernya meminta harga sama atau lebih rendah dari harga Permenperin.

Pembatasan pemenang maksimal hanya 50% dari total peserta menyebabkan terjadinya persaingan harga yang tidak sehat karena berharap menjadi pemenang dengan harga terendah. Hasilnya harga menjadi tidak rasional, dimana seharusnya harga naik dari harga lama (2019), ini malah menjadi turun.

“Bagi Pabrikan apabila terjadi kenaikan 2-3% mungkin tidak terlalu masalah, mereka akan merelakan pengurangan margin atau keuntungan, namun jika ada kenaikan material hingga 40% yang mengakibatkan kenaikan harga konduktor lebih besar 20% sangatlah memberatkan,” tuturnya.

Apabila pola tender dengan jumlah pemenang terbatas ini tetap dilanjutkan oleh PLN, maka selain berpotensi melanggar Perpres dan Permenperin, akibat yang ditimbulkan bisa menyebabkan 13 pabrik konduktor tidak beroperasi karena tidak ada kontrak atau order, akan terjadi PHK dan Industri akan tutup. Hal yang sama akan terjadi pada Industri Tower Transmisi yang juga masuk dalam Aturan Perpres dan Permenperin yang bersangkutan. Sangat ironis jika pada saat Pandemi ini PLN malah akan membuat tutupnya beberapa Industri Konduktor dan Tower Transmisi.

Noval menyampaikan, untuk market share kabel listrik terdiri dari PLN mendominasi 70% dan Umum / Swasta mencapai 30%. Hal ini membuat PLN menjadi konsumen terbesar dari industri kabel listrik yang mempunyai produksi Konduktor, Kabel Tegangan Rendah, Menengah dan Tinggi. Adapun 30% market share dari umum atau swasta meliputi kabel-kabel Bulding Wire dan Kabel Tegangan Rendah 0,6/1 KV.

Dengan kondisi share seperti itu, maka Sebagian besar pabrik kabel listrik dan konduktor menggantungkan harapan dan operasionalnya dari kontrak dan pesanan PLN. Jika mereka tidak mendapatkan order dan kontrak PLN, maka pabrik tersebut akan berpotensi rugi atau tutup

Seperti diketahui, Industri Kabel Listrik Indonesia telah mempunyai kemampuan produksi yang meliputi, Konduktor Alumi nium (Al) dan Tembaga (Cu), Kabel Building Wire (300 s/d 750 V), Kabel Tegangan Rendah (0,6/1 KV) Tembaga dan Aluminium, Kabel Tegangan Menengah dan Tegangan Tinggi s/d 150 KV.

Adapun Kapasitas untuk masing-masing Produk Konduktor dan Kabel Listrik tersebut diatas telah mencapai 200% sampai dengan 300% dari kebutuhan (demand) di dalam negeri. Bahkan Sebagian dari pabrik kabel telah mampu melakukan Ekspor ke negara-negara tetangga dan negara berkembang lainnya.

Sedangkan utilisasi pabrikan kabel secara nasional sejak tahun lalu telah menurun 40%—50% dibandingkan dengan kondisi normal yang sanggup mencapai 80%. Secara kapasitas, banyak pula pabrikan kabel yang merosot di bawah 30% karena tidak bisa menjual produknya.

Masalah yang terjadi sekarang khususnya pada pengadaan konduktor dan kabel listrik di PLN adalah, masih adanya deviasi antara kebijakan dan regulasi dari pemerintah pusat dengan pelaksana di PLN. Faktor arogansi ini timbul dikarenakan PLN sebagai satu-satunya operator listrik nasional. Dalam hal permasalahan pengadaan atau tender yang terjadi di PLN ini, APKABEL telah mebuat Surat Langsung ke Direktur Utama PLN.

“Selain itu Kami juga sudah melaporkannya kepada Menteri Perindustrian sebagi Pembina Industri dan Menteri BUMN agar kiranya dapat meninjau tender pengadaan PLN ini untuk dapat kembali memakai pola pengadaan Open Book yang dapat membantu menghidupi dan mendukung industri ketenagalistrikan nasional khususnya industri kabel di dalam negeri,” tutupnya. (TN)