trustnews.id

FENOMENA PANIC BUYING DAN JALUR OBAT SAS
Istimewa

FENOMENA PANIC BUYING DAN JALUR OBAT SAS

NASIONAL Sabtu, 04 September 2021 - 10:46 WIB TN

Masyarakat yang panik menimbulkan histeria massal dengan memborong segala produk yang terkait dengan Covid-19. Pemerintah membuka jalur khusus obat SAS, apa itu?

Bagai terjangan tsunami,gelombang kedua virus Covid-19 menyapu dengan cepat. Situasinya jauh lebih mengerikan dari gelombang pertama. Hanya dalam waktu singkat, jumlah penderita Covid-19 meningkat sangat pesat. Rumah sakit dan tenaga medis menjadi kewalahan.

Tingginya lonjakan kasus Covid-19 membuat pasien Covid-19 harus rela menunggu di dalam kendaraan hingga lorong rumah sakit untuk mendapat perawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Unit Perawatan Intensif (ICU).

Di lain sisi, pada saat yang bersamaan, masyarakat mengalami fenomena panic buying dengan memborong segala sesuatu yang terkait dengan pandemi, mulai dari obat, vitamin, masker, hand sanitizer hingga merk susu tertentu.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat kesehatan Kemenkes, Arianti Anaya, mengatakan masyarakat yang panik dengan membeli dalam jumlah besar menyebabkan kelangkaan obat di pasar.

"Kelangkaan obat pada 15 Juli lalu, karena terjadi pembelian yang sangat besar dalam waktu singkat. Kenaikannya sampai 10 kali lipat dari biasanya," ujar Arianti kepada TrustNews.

"Industri farmasi dan Alkes belum siap untuk menyediakan obat dalam waktu yang mendadak. ini dikarenakan untuk mengolah bahan baku menjadi produk obat membutuhkan waktu 1 bulan sampai 1,5 bulan," tambahnya.

Dalam kondisi 'darurat' tersebut, menurutnya, pemerintah mengambil kebijakan untuk impor obat dalam keadaan utuh.

"Kami membuka SAS bagi kalangan rumah sakit dan industri farmasi untuk mengatasi kelangkaan sejumlah obat. SAS akan memungkinkan impor obat-obatan juga bahan baku obat agar sampai lebih cepat ke tanah air untuk memenuhi kebutuhan RS yang saat ini tengah berjibaku dengan lonjakan jumlah pasien," paparnya.

Lantas apa itu SAS? Dijelaskannya, SAS merupakan mekanisme jalur khusus yang memungkinkan obat atau bahan obat yang tidak atau belum memiliki izin edar namun sangat diperlukan dalam kondisi tertentu untuk masuk ke Indonesia.

“Kemenkes juga bekerjasama dengan Badan POM serta berkoordinasi dengan Dijen Bea Cukai sehingga prosesnya bisa berjalan lebih capet,” kata Arianti.

Terkait dengan persyaratan SAS, dirinya menjelaskan, untuk RS adalah surat permohonan ijin pemasukan obat melalui SAS dari direktur ditujukan kepada Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

“Informed consent pasien atau surat pernyataan bermaterai cukup dari Direktur Medik bahwa pasien akan mengisi Informed consent sebelum menggunakan obat serta rumah sakit yang tercantum dalam ijin SAS bertanggung jawab terhadap penggunaan, keamanan, khasiat dan mutu obat," urainya.

Sedangkan bagi importir, lanjutnya, prosedur SAS adalah surat permohonan impor obat dari importir SAS ditujukan kepada Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, obat tersebut berasal dari sumber resmi yang dapat dibuktikan dengan dokumen Salinan Certificate Of Analysis (COA) dan/atau Invoice atau kwitansi pembelian dari distributor resmi di negara asal Air Way Bill/Bill of Lading atau surat pernyataan akan menyusulkan Air Way Bill/ Bill of Lading, salinan sertifikat GMP apabila obat berasal dari produsen obat, surat pernyataan akan mencantumkan Kode SAS pada kemasan terkecil obat.

"Obat yang dimasukkan melalui jalur khusus hanya untuk rumah sakit yang tercantum dalam ijin SAS dan tidak untuk diperdagangkan serta melakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)," tegasnya.

Arianti mengatakan, segala upaya yang tengah dilakukan pemerintah saat ini untuk meningkatkan angka kesembuhan pasien COVID-19 dan ketersedian obat-obatan hingga masyarakat khususnya pasien yang isoman menjadi tenang.

"Dalam kondisi normal untuk memasukan obat-obat SAS harus menunggu permintaan dari rumah sakit. Karena kondisi darurat, tidak perlu menunggu permintaan rumah sakit, obat-obatan bisa didatangkan terlebih dahulu selama memenuhi persyaratan," jelasnya.

Kelangkaan obat yang disebabkan ketidak sediaan bahan baku lokal, menurut Arianti, menjadi tantangan bagi industri farmasi untuk tidak tergantung bahan baku obat impor yang mencapai 90 persen.

"Kami sudah mulai bisa membuat obat-obatan tertentu. Adanya kasus kelangkaan obat membuat industri yakin mereka harus segera mempercepat proses produksi dalam negeri. Dimana tidak hanya produksinya saja tapi juga bahan bakunya dalam negeri," pungkasnya (TN)