TRUSTNEWS.ID - Pagi di Duri selalu dimulai dengan irama yang sama: dengung turbin dari kejauhan, uap tipis yang naik perlahan seperti kabut yang enggan pergi, dan aroma tanah basah yang bercampur minyak mentah.
Di tengah lanskap Riau yang datar dan lembap ini, Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) lahir tahun 1998, dua dekade lalu. Tak ada pesta besar, tak ada pita yang dipotong. Hanya suara mesin pertama yang mulai berputar, napas pertama yang memberi energi baru bagi Blok Rokan, ladang minyak tua yang mulai kehilangan tenaganya.
“Kalau ditanya apa yang berubah, jawabannya hampir segalanya,” ujar Junaidi Abdi, Direktur Utama MCTN kepada TrustNews. “Tapi yang tak berubah, kami tetap pompa uap dan listrik,” lanjutnya sambil tertawa ringan.
Di dinding ruang kerjanya, peta pipa tua masih tergantung seperti foto keluarga yang sudah pudar warnanya. Di layar komputer, grafik digital berkedip pelan — angka-angka hijau naik turun seperti denyut nadi kehidupan Blok Rokan.
“Dulu kami anak CPI (Chevron Pacific Indonesia - salah satu kontraktor migas terbesar di Indonesia/red). Sekarang kami bagian dari keluarga besar PT PLN (Persero). Tapi tugas sama, bikin minyak tua ini tetap ngalir,” jelasnya.
Blok Rokan sendiri adalah legenda panjang industri migas Indonesia. Ladang ini lahir pada 1941, saat Caltex (California Texas Oil Company) — cikal bakal Chevron — menemukan cadangan raksasa di Duri, di tengah hutan Riau yang masih liar. Sumur pertama mengucur pada 1951, seperti air terjun hitam yang tak henti-hentinya. Puncak kejayaan tiba di 1973, saat produksi menembus sekitar 1 juta barel per hari, menjadikannya ladang minyak terbesar di Asia Tenggara.
Namun waktu berjalan. Sumur-sumur menua, tekanan menurun, minyak mengental seperti madu yang sulit dituang. Dari kebutuhan menjaga kelangsungan produksi itulah MCTN hadir — menghadirkan uap panas dan listrik yang stabil agar minyak tetap “bahagia” mengalir, seperti anak manja yang butuh pelukan hangat.
MCTN lahir dari kebutuhan sederhana itu. Didirikan pada 1998 dan mulai beroperasi sekitar tahun 2000 saat sumur-sumur Rokan mulai memasuki fase heavy oil, cogeneration jadi mantra andalan. Satu mesin lahirkan listrik sekaligus uap. Panas yang dihasilkan malah jadi penyelamat yang ampuh.
Perusahaan ini memanfaatkan teknologi cogeneration, menghasilkan listrik dan uap dari satu sistem terpadu untuk mendukung proses Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan Duri. Boiler raksasa dibangun, pipa ditanam ratusan kilometer, dan turbin gas berputar tanpa henti.
“Kami menyebutnya happy oil, karena minyaknya ‘senang’ kalau dikasih uap,” ujar Junaidi dengan mata berbinar.
Dua puluh tujuh tahun perjalanan ini bukan hanya tentang mesin dan angka, tapi tentang manusia. Tentang malam-malam ketika turbin mati pukul dua pagi, para teknisi berlari di tengah hujan membawa senter. Tentang Pak Rahman, operator senior yang telah hampir dua dekade menjaga panel kontrol — tangannya penuh bekas gosong, tapi tetap lembut saat menekan tombol start-up.
“Mesin ini seperti anak sendiri. Kalau sakit, kami yang susah tidur. Kalau sehat, kami yang tersenyum,” katanya.
Lalu datang 2021, malam transisi yang seperti akhir film lama tapi juga awal babak baru yang penuh harap. Tahun 2018, pemerintah tegas: kontrak Chevron tak diperpanjang.
9 Agustus 2021, pukul 00.01 WIB, palu diketuk dalam seremoni malam yang penuh haru, di bawah lampu sorot yang redup. Chevron menyerahkan estafet ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) disaksikan manajemen kedua perusahaan dan SKK Migas.
Pada titik yang sama, kekhawatiran kental menyelimuti, “MCTN masih dibutuhkan nggak?” Mereka ingat duduk di ruang gelap, pantau grafik produksi yang bisa ambruk kapan saja, jantung berdegup seperti drum perang. Tapi pagi harinya, telepon berdering: “Kami butuh uap lebih banyak. Dan listrik juga.”
Rupanya, PHR tak mau Blok Rokan pensiun dini. Produksi kini sekitar 160.000 barel per hari, dan PHR menatap target lebih besar: 200.000 barel per hari, untuk mendukung ambisi nasional 1 juta barel per hari pada 2030.
“Kami napas kedua blok ini,” kata Junaidi mantap.
Lalu datang babak baru: November 2023, ketika MCTN resmi berganti nama menjadi PLN Mandau Cipta Tenaga Nusantara (PLN MCTN). Perubahan nama ini bukan sekadar simbol. Ia menegaskan komitmen MCTN sebagai bagian utuh dari PT PLN (Persero) yang memikul misi strategis ketahanan energi nasional, sekaligus memperkuat identitas korporat di bawah satu bendera: PLN Group.
“Nama ini membawa tanggung jawab yang lebih besar,” ujar Junaidi. “Dari hanya menjaga uap dan listrik, kini kami menjadi bagian dari perjalanan bangsa menuju transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.”
Prestasi datang pelan-pelan, seperti uap yang mengepul dari cerobong asap: Best Performance of the Month dari PLN Group pada Desember 2024. Kemudian dari ICA Award (Gold) untuk program keselamatan kerja HES Campaign. ISDA Award (Silver) untuk inisiatif lingkungan Srikandi.
Blok Rokan bukan sekadar ladang minyak. Ia adalah napas energi Indonesia, dari era kolonial saat penjajah pertama kali menusuk bumi, masa keemasan saat minyak mengalir seperti sungai emas, hingga babak baru kemandirian di bawah bendera merah putih yang berkibar pelan di angin Riau.
“Kami bagian dari orkestra energi bangsa, memainkan nada yang tak terdengar tapi esensial,” pungkas Junaidi. (TN)










