
Mantapkan arah bisnis: Tugure Fokus pada Stabilitas dan Pertumbuhan
TRUSTNEWS.ID - Transformasi di PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure) bukan sekadar catatan yang terselip di bundelan dokumen administratif semata. Sejak 2018, perusahaan yang bernaung di bawah Tugu Pratama Group itu dengan progresif menekan tombol restart.
Hasilnya bukan hanya strategi di atas kertas, melainkan lahirnya algoritma baru: cara kerja underwriting yang lebih tajam, pencadangan yang lebih disiplin, dan pengelolaan keuangan yang lebih kokoh. Semua itu ibarat rangka baja yang disusun diam-diam, hingga ketahanannya benar-benar teruji ketika badai pandemi menghantam industri asuransi pada 2019–2020.
“Sejak 2018 kami sudah melakukan pencadangan lebih konservatif. Dampaknya memang hasil underwriting lebih kecil. Tetapi keyakinan kami, ini akan jadi penyangga saat pasar bergejolak,” ujar Erwin Basri, Direktur Operasional Tugure, kepada Trust News.
“Dan terbukti, saat pandemi datang, perusahaan tetap terjaga karena memiliki bantalan cadangan yang memadai,” tambahnya.
Kinerja keuangan menjadi cermin paling nyata dari perubahan arah tersebut. Pada 2018, premi bruto Tugure masih berada di kisaran Rp2,33 triliun. Namun, tekanan pasar dan dimulainya upaya balancing portfolio membuat hasil underwriting terkoreksi menjadi Rp2,26 triliun pada 2021.
“Saat yang sama, klaim bruto masih relatif tinggi, mencapai sekitar Rp1,41 triliun, sehingga hasil underwriting terkoreksi menjadi Rp1,18 miliar,” ungkapnya.
Perubahan mulai terlihat nyata setelah 2022, ketika strategi transformasi berbuah. Premi bruto tumbuh sekitar 24% year on year menjadi Rp2,8 triliun, sementara klaim bruto berhasil ditekan hingga 8,62% menjadi sekitar Rp1,29 triliun.
“Kami ingin jadi mitra yang konsisten, mengambil momentum namun tetap disertai dengan pertimbangan yang matang dan menjaga keseimbangan ekosistem,” ujarnya.
Dampaknya langsung terasa. Hasil underwriting melonjak menjadi Rp41 miliar, pertumbuhan fantastis dibandingkan hanya Rp1,18 miliar setahun sebelumnya. Pada saat yang sama, aset meningkat ke Rp5,24 triliun dengan ekuitas mencapai Rp1,48 triliun.
“Ini membuktikan pencadangan konservatif yang sebelumnya menjadi tambahan beban di underwriting, justru menjadi penyangga. Dengan cadangan yang cukup, klaim sebesar apa pun bisa kami imbangi,” ujarnya.
Momentum itu terus berlanjut. Per akhir 2023, meskipun industri reasuransi sempat dilanda tekanan portofolio, Tugure berhasil menjaga premi bruto di kisaran Rp2,9 triliun dengan klaim yang disetujui sekitar Rp1,26 triliun.
Lompatan lebih besar terjadi pada 2024, ketika premi bruto menembus Rp3,29 triliun. Aset perusahaan meningkat hingga Rp5,94 triliun, dengan ekuitas bertambah ke Rp1,52 triliun. Bahkan, rugi underwriting pada 2023 sebesar minus Rp71,92 miliar berhasil dibalik menjadi laba underwriting Rp91,12 miliar pada 2024.
“Dulu kami sering bilang reasuransi ini kalau diibaratkan sebagai lomba maraton, bukan sprint. Kinerja Tugure pada 2023–2024 jadi buktinya, memang dibutuhkan stamina panjang dalam menghadapi dinamika pasar,” tegasnya.
Perbandingan sederhana antara “sebelum” dan “sesudah” transformasi menunjukkan betapa fundamental Tugure kini lebih kokoh. Dari premi yang stagnan dan klaim yang membebani, perusahaan beralih ke fase pertumbuhan sehat dengan cadangan yang lebih konservatif, hasil underwriting yang stabil, serta ekuitas yang terus menguat.
“Yang terpenting bukan sekadar angka, tapi komitmen sebagai perusahaan reasuransi dalam memenuhi kewajiban terhadap mitra usaha,” tegasnya.
“Kami ingin jadi mitra yang konsisten, mengambil momentum namun tetap disertai dengan pertimbangan yang matang dan menjaga keseimbangan ekosistem. Karena reasuransi adalah pilar bagi mitra usaha, maka akan berdampak besar bagi industri perasuransian,” tambahnya.
Strategi ini selaras dengan prinsip Tugure menjaga keseimbangan portofolio. Porsi reasuransi jiwa dan kesehatan yang sempat terdampak pandemi dikelola agar tidak menjadi risiko dominan. Begitu pula dengan bisnis jangka panjang dan jangka pendek yang terus diseimbangkan.
“Setiap rupiah yang kami alokasikan harus bisa mendatangkan nilai tambah. Dengan ekuitas terbatas, kami harus ekstra hati-hati,” jelasnya.
Seiring pemulihan ekonomi, industri reasuransi global menghadapi tantangan baru: fluktuasi pasar keuangan, perubahan standar akuntansi internasional, hingga tekanan modal. Tugure, dengan keterbatasan ekuitas, harus cermat dalam menjaga struktur aset dan liabilitas.
“Kami benar-benar dimonitor ketat, baik oleh komisaris, regulator, maupun lembaga rating. Apalagi dengan adanya International Financial Reporting Standards (IFRS), tantangannya luar biasa. Klaim belum terjadi, sudah harus dicadangkan,” pungkasnya. (TN)