
Strategi GIB Literasi Jadi Pilar, Beasiswa Jadi Investasi
TRUSTNEWS.ID - Keluar dari zona nyaman bukan hal mudah bagi industri yang dikenal konservatif seperti asuransi. Pilihan itu justru diambil PT Global Insurance Broker (GIB), yang berani menempuh jalur berbeda.
Alih-alih sekadar menjadi perantara polis, perusahaan ini menempatkan literasi publik dan program beasiswa sebagai bagian inti dari strateginya.
Suwarji, Direktur GIB, mengatakan transformasi hanya mungkin terjadi jika ekosistem diperkuat mulai dari akarnya, yakni edukasi, keterbukaan, dan regenerasi.
Dia tak menampik, bila selama ini peran broker kerap dipandang sebatas pemasar produk. Padahal, broker justru membuka ruang lebih luas bagi nasabah. Perannya menyediakan beragam opsi dari banyak perusahaan, lalu membantu memilih produk yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan klien.
“Di Indonesia ada lebih dari 70 perusahaan asuransi umum di luar asuransi jiwa. Kami tidak hanya memasarkan satu atau dua produk, melainkan membawa berbagai pilihan yang relevan,” ujar Suwarji.
“Klien bisa menimbang manfaat, premi, dan kecukupan modal perusahaan. Jadi yang dipilih benar-benar sesuai kebutuhan sekaligus memenuhi ketentuan OJK,” paparnya.
Dia menilai, rendahnya literasi asuransi menjadi hambatan utama penetrasi pasar. Banyak orang baru memahami manfaat asuransi setelah menghadapi risiko.
“Kadang orang kita merasa rugi kalau belum ada risiko. Padahal fungsi asuransi itu justru untuk mengantisipasi. Itu sebabnya edukasi menjadi pekerjaan rumah utama bagi pelaku industri,” jelasnya.
Untuk menjawab tantangan itu, GIB menjadikan literasi sebagai pilar strategis. Perusahaan menyiapkan program edukasi dalam beragam bentuk. Mulai dari wellness program, tabloid kesehatan bulanan, booklet tentang risiko kerugian, hingga video singkat yang dibagikan kepada klien. Edukasi juga hadir melalui forum-forum tatap muka.
“Kami sering diminta jadi pembicara. Misalnya di Ikatan Dokter Keluarga Indonesia, kami menjelaskan bahwa dokter bisa dilindungi dari risiko gugatan malapraktik,” ujarnya.
“Di Belitung, kami berdialog dengan aparat kepolisian tentang risiko speedboat hilang atau kecelakaan turis. Banyak yang belum tahu bahwa semua itu bisa dilindungi lewat asuransi,” tuturnya.
Inisiatif tersebut diperkuat lewat program beasiswa yang dirancang untuk menyiapkan generasi baru profesional asuransi.
Langkah ini tidak hanya menambah talenta di dalam negeri, tetapi juga mempersiapkan sumber daya yang bisa bersaing di kancah internasional. GIB percaya regenerasi merupakan syarat mutlak agar industri broker tetap relevan.
“Kami sadar tidak semua keluarga mampu membiayai kuliah anaknya. Sementara, industri ini butuh talenta baru. Karena itu kami memberikan beasiswa. Selain itu, ada program magang yang sudah berjalan,” ungkapnya.
Melalui program tersebut, menurutnya, mahasiswa mendapat akses langsung pada praktik industri. Mereka belajar tentang pemasaran produk, manajemen risiko, serta proses hubungan antara broker, perusahaan asuransi, dan regulator.
“Harapannya, mereka bisa menjadi tenaga ahli yang kelak mengisi ruang kosong di industri,” ujarnya.
Angle internasional menjadi semakin penting ketika pasar asuransi global terus mengalami integrasi. Perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia menuntut standar layanan setara dengan yang mereka dapatkan di Singapura, Hong Kong, atau London.
GIB menjawab tantangan ini dengan membangun jejaring internasional, memperbarui standar kepatuhan, dan menyesuaikan praktik layanan dengan benchmark global.
“Kalau kita mau dipercaya, maka layanan kita harus bisa dibandingkan dengan pemain internasional,” ujarnya.
Langkah itu memberi GIB posisi unik. Di satu sisi, mereka tetap berakar pada kebutuhan domestik yang masih didominasi tantangan literasi dan kepercayaan. Di sisi lain, GIB terhubung dengan ekosistem global yang menuntut profesionalisme, akurasi data, dan kecepatan layanan.
Perpaduan inilah yang membuat GIB mampu bertahan sekaligus tumbuh di tengah kompetisi.
GIB juga menekankan transparansi sebagai syarat mutlak. Polis, premi, hingga proses klaim harus dipahami nasabah dengan jelas.
“Edukasi itu bukan hanya soal mengenalkan produk baru, tapi juga memastikan nasabah paham prosedur. Itu akan memperkuat ekosistem,” pungkasnya. (TN)