
TRUSTNEWS.ID - Bicara tentang pelayanan kesehatan di Indonesia, tak ubahnya menggambar sebuah perjalanan panjang menuju kesetaraan. Investasi dalam infrastruktur di daerah terpencil, peningkatan pelatihan tenaga medis, serta pemanfaatan teknologi informasi, tak ubahnya ikhtiar untuk mengurangi jurang antara kota dan desa.
Di pusat kota, fasilitas kesehatan modern dengan peralatan canggih dan tenaga medis profesional sudah menjadi standar. Namun, di daerah pedesaan, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), banyak warga yang masih harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar.
Kesenjangan ini diperparah oleh perbedaan ekonomi yang membuat akses ke perawatan berkualitas menjadi sebuah kemewahan bagi sebagian masyarakat.
Mengatasi kesenjangan ini, pemerintah juga terus berupaya memperkuat infrastruktur kesehatan. Hampir seluruh kabupaten dan kota di tanah air kini telah memiliki rumah sakit. Namun, masih terdapat 66 kabupaten yang belum memiliki RSUD tipe C, fasilitas rujukan yang memadai bagi masyarakat.
Untuk itu, pemerintah telah merancang program ambisius guna meningkatkan mutu pelayanan di wilayah tersebut. Di jantung kebijakan pemerintah, Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) menjadi tonggak utama. Meski hampir setiap kabupaten dan kota kini telah memiliki rumah sakit, masih ada 66 kabupaten yang belum memiliki RSUD tipe C—fasilitas rujukan utama yang dianggap sebagai standar pelayanan kesehatan optimal.
"Presiden Prabowo Subianto dalam arahannya secara tegas memberi target pembangunan atau peningkatan fasilitas kesehatan akan dilakukan dalam dua tahun ke depan dengan pembangunan 32 rumah sakit pada tahun ini dan 34 rumah sakit pada tahun depan," ungkap Azhar Jaya, Dirjen Kesehatan Lanjutan Kemenkes, dalam perbincangan dengan TrustNews.
"Di daerah yang sudah memiliki RSUD tipe C maupun tipe D, perhatian utama akan diberikan untuk meningkatkan standar fasilitas tersebut ke tipe C. Sementara di wilayah yang belum memiliki RSUD tipe C sama sekali, fasilitas yang ada akan ditingkatkan secara menyeluruh," urainya.
Selain penguatan infrastruktur, pemerintah juga menekankan pentingnya program-program preventif dan promotif. Salah satunya adalah program Cek Kesehatan Gratis (CKG), yang menjadi titik awal dalam mendeteksi masalah kesehatan sejak dini.
"Dengan deteksi yang cepat, penanganan penyakit—baik melalui perubahan gaya hidup maupun pengobatan yang tepat—dapat segera dilakukan," jelasnya.
Kegiatan ini, menurutnya, yang mendapat perhatian khusus untuk penanggulangan TB (Tuberkulosis). Tujuannya, memastikan bahwa masyarakat mendapatkan perlindungan maksimal tanpa terpengaruh oleh kebijakan efisiensi.
"Menurut arahan pemerintah, setiap program kesehatan yang menyentuh kehidupan banyak orang harus terus dijaga kualitasnya agar dampak positifnya dapat dirasakan secara luas," ungkapnya.
Azhar menekankan, upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia terus berjalan dengan menargetkan berbagai indikator kunci, termasuk peningkatan angka harapan hidup serta penurunan angka kematian ibu dan anak.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya menyeluruh untuk menekan angka stunting dan mengatasi penyakit tidak menular yang kian mengancam kesejahteraan masyarakat.
"Indikator seperti usia hidup yang meningkat dan penurunan angka kematian ibu serta anak merupakan cermin dari keberhasilan sistem kesehatan kita,” ujarnya.
Selain peningkatan pelayanan medis, kampanye edukasi kesehatan juga menjadi fokus utama. Upaya menekan prevalensi penyakit tidak menular—seperti diabetes, hipertensi, dan stroke—dihadapkan pada tantangan tersendiri. Kampanye ini menitikberatkan pada pengaturan konsumsi Gula, Garam, dan Lemak (GGL), yang diyakini berperan besar dalam meningkatnya angka penyakit kronis.
Misalnya, perbedaan kadar gula pada produk minuman seperti Coca-Cola yang dijual di Indonesia dan Singapura menggambarkan perlunya penyesuaian standar demi kesehatan masyarakat.
Salah satu inisiatif yang tengah digalakkan adalah penerapan label makanan dengan sistem kode warna. Label merah menandakan bahwa suatu produk sebaiknya tidak dikonsumsi dalam jumlah besar, sedangkan label kuning dan hijau menunjukkan tingkat konsumsi yang lebih aman.
"Meski langkah ini menuai protes dari pelaku industri, pejabat tersebut menegaskan bahwa edukasi dan informasi yang tepat kepada masyarakat merupakan kunci dalam upaya pencegahan penyakit," pungkasnya. (TN)