trustnews.id

Was-Was PMK  Daging Kerbau Impor
Direktur Eksekutif Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia) Joni Liano

Was-Was PMK  Daging Kerbau Impor

NASIONAL Senin, 24 Agustus 2020 - 09:06 WIB TN

Keberadaan daging kerbau impor tidak hanya memukul peternak sapi lokal. Di balik harga yang murah mengintai penyakit kuku dan mulut (PMK).
 
Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini cocok menggambarkan keadaan industri sapi potong di tanah air.  Saat kondisi pandemi Covid-19 menurunkan daya beli daging sapi masyarakat, di saat yang bersamaan, pemerintah membuka kran impor daging kerbau sebanyak 170 ribu ton pada tahun 2020.
“Kita tidak mampu bersaing dengan daging kerbau yang harganya setengah dari daging sapi. Harga jual daging kerbau berdasarkan aturan pemerintah itu Rp80.000 per kilogram, sedangkan daging sapi Rp106 ribu – Rp108 ribu per kilogram. Berdasarkan itu bagaimana kita bisa bertahan,” ujar Direktur Eksekutif Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia) Joni Liano kepada TrustNews. 
Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah tersebut, bagi Joni, sesuatu yang kontradiktif. Ini dikarenakan pemerintah tidak memasukkan struktur biayanya dalam menetapkan harga.
“Sebenarnya yang pantas itu harga berapa sih? Daging sapi paha depan itu Rp80 ribu sedangkan daging kerbau Rp80 ribu, tapi daging paha belakang sapi itu Rp150 ribu.  Saya kira ini harus dihitung dulu struktur biayanya, harga di pasar 120ribu itu harga keekonomian di Indonesia,” paparnya. 
Hanya saja, menurutnya, dengan harga keekonomian itupun pemerintah kurang happy, karena masih dianggap mahal. Oleh sebab itu, pemerintah tidak memasukkan struktur biaya dalam perhitungannya dalam menetapkan harga.  
“Dianggap harga daging sapi masih mahal, maka pemerintah mengintervensi dengan memasukkan daging kerbau. Harapannya daging kerbau lebih murah, kenyataannya di lapangan daging kerbau malah mengikuti daging sapi,” tegasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dihimpun Gapuspindo menunjukkan, rata-rata harga eceran daging sapi pada 2016 sebesar Rp 106.565/kg, naik menjadi Rp 107.311/kg di 2017 dan bertahan di level Rp 107.237/kg di sepanjang tahun lalu.
Adapun dalam dua bulan pertama tahun ini, harga rata-rata daging sapi menurut BPS mencapai Rp 107.221/kg di Januari dan Rp 107.232/kg di Februari.
"Apakah harga turun ke Rp 80 ribu/kg? Ini data dari Kementerian Perdagangan, berkisar Rp 106 ribu-Rp 107 ribu/kg. Sementara pemerintah katakan supaya harga acuan bisa Rp 80.000/kg sesuai Permendag 96/2018 harus suplai daging kerbau," ujar Joni dalam Agrina Agribusiness Outlook 2019, Kamis (11/4/2019).
Padahal, realisasi impor daging kerbau dari India sejak 2016 terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan volume impor 39.524 ton di tahun tersebut, naik 38% menjadi 54.510 ton di 2017, dan kembali tumbuh 46% menjadi 79.634 ton di tahun lalu.
"Impor daging dari India naik terus tapi harga segitu-segitu saja. Tujuan dari pemerintah untuk stabilkan harga, sesuai dengan Permendag harus Rp 80 ribu/kg nggak ada yang tercapai. Jadi kenapa impor terus dilakukan?" keluhnya.
Dalam kondiri seperti itu, Joni menyarankan, saat mengimpor daging kerbau, pemerintah juga menghitung sosial ekonominya. Ini terkait perbedaan harga.
“Sebelum memasukkan daging kerbau,  pemerintah ada baiknya menghitung dulu berapa kebutuhan riilnya, tujuannya melindungi peternak sapi lokal. Sekaligus melindungi konsumen dari praktek pengoplosan. Konsumen mungkin tidak sadar, dia keluarkan Rp120 ribu untuk daging sapi, tapi yang didapatnya daging kerbau,”  paparnya. 
Hal yang dikhawatirkannya, daging kerbau impor itu datang dari negara-negara yang belum bebas penyakit kuku dan mulut (PMK). Ini berbeda dengan daging sapi yang didatangkan dari negara-negara yang bebas PMK.
Sebagaimana diketahui, Berdasarkan data World Organisation For Animal Health (OIE), India memang belum terbebas dari penyakit kuku dan mulut atau Foot and Mouth Disease (FMD) untuk hewan ternak berkuku genap. Sedangkan, Indonesia sendiri telah terbebas dari penyakit ini sejak 1986. 
“Indonesia harus waspada akan PMK, ini sangat riskan. Apalagi di impor dari India yang belum bebas dari PMK. Apalagi dalam kondisi Covid-19, kita aja keteteran, Saya khawatir suatu ketika akan terjangkit. Sehebat apapun suatu negara memasang syarat, kalau memasukkan hewan dari negara yang berisiko dengan melayukan dagingnya dan tidak ada tulang, tetap saja 0,0 persen pasti ada risikonya,” pungkasnya.(TN)