
DJPb Lampung Rekor Fiskal di Tengah Pemangkasan
TRUSTNEWS.ID - Di tengah birokrasi fiskal nasional yang kerap tersendat, Lampung muncul bak oase di padang panjang. Seperti kemarau setahun terhapus hujan sehari, provinsi ini justru menorehkan capaian yang jarang terlihat di peta fiskal Indonesia.
Hingga Agustus 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) mencatat Lampung menduduki peringkat pertama di Sumatra dan ketiga secara nasional dalam realisasi anggaran.
Skala fiskalnya pun tidak kecil. Tahun anggaran 2025, Lampung mengelola dana sebesar Rp32,3 triliun — terdiri dari Rp9,25 triliun program sektoral pemerintah pusat dan Rp23,09 triliun transfer ke 16 pemerintah daerah. Lebih dari 70 persen sumber daya fiskal provinsi ini bersandar pada transfer ke daerah (TKD). Maka, efektivitas kepala daerah menjadi penentu: apakah dana berubah menjadi jalan dan irigasi, atau sekadar deret angka dalam laporan keuangan.
Sejauh ini, catatan Lampung terbilang cerah. Hingga pertengahan tahun, serapan anggaran mencapai 63,4 persen. Belanja pemerintah pusat baru 53 persen, namun pemerintah daerah bergerak lebih agresif di 67,6 persen. Dana transfer yang mengendap pun tinggal 3,9 persen—angka yang jarang dicapai daerah lain.
Dalam lanskap fiskal nasional yang kerap tersendat, efisiensi Lampung menjadi pengecualian yang menyejukkan.
Namun, angka makro bukan seluruh cerita. Sebagian besar serapan masih didominasi belanja rutin, bukan proyek transformatif. Belanja fisik baru terealisasi sekitar 50 persen.
“Kalau dilihat, transfer bukan hanya untuk fisik,” ujar Purwadhi Adhiputranto, Kepala Kanwil DJPb Provinsi Lampung yang baru beberapa bulan menjabat.
“Ada dana pendidikan, dana desa, dan program sosial lainnya. Jika digabung, sisa yang belum digunakan relatif kecil,” tambahnya.
Artinya, Lampung memang terhindar dari kelumpuhan fiskal. Namun, pertanyaan apakah belanja ini benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang masih terbuka.
Untuk menjawab itu, DJPb Lampung mengedepankan tiga mandat utama: sebagai pengelola kas negara (treasurer), penghubung kebijakan ekonomi, dan penasihat keuangan bagi pemerintah daerah.
"Forum rutin kami gelar bersama pejabat daerah dan pemangku kepentingan untuk menyelaraskan belanja dengan indikator pembangunan," ujarnya.
Setiap triwulan, kajian fiskal diterbitkan berisi rekomendasi bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Forum berikutnya, dijadwalkan akhir September, akan mempertemukan universitas, OJK, dan pemerintah daerah untuk membedah kualitas penyerapan anggaran—bukan sekadar kecepatannya.
Fokus pada sinergi antar-lembaga ini bukan basa-basi. Seluruh 16 pemerintah daerah di Lampung berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada 2024—indikasi kedewasaan administrasi fiskal.
“Hubungan dengan pemda, satker, dan perbankan sudah harmonis,” tegas Purwadhi.
“Pencairan dana kini tak hanya dipantau dari sisi waktu, tetapi juga diarahkan pada hasil nyata,” tambahnya.
Namun, bagi Purwadhi, persoalan terbesar bukan terletak pada uang, melainkan pada sumber daya manusia.
“Tantangan utama tetap SDM,” ungkapnya.
Jika dibandingkan Papua Barat—daerah asalnya sebelum dimutasi ke Lampung—tantangan di sini relatif berbeda. Infrastruktur dan geografi bukan kendala. “Yang paling menantang justru kualitas SDM,” akunya.
Di banyak satuan kerja, aparatur baru sering kali harus belajar dari nol tentang standar pengelolaan anggaran negara.
Di sinilah peran Kanwil DJPb sebagai financial advisor diuji. Tak sekadar mengawasi, tetapi juga membina dan memastikan transfer pengetahuan berjalan berkesinambungan.
“Tugas kami memastikan SDM di satker maupun pemda memiliki kompetensi sesuai standar. Kalau tidak, kualitas tata kelola bisa tergerus,” paparnya.
Ia mengaku tak datang untuk merombak dari nol. Menurutnya, Lampung sudah memiliki ekosistem fiskal yang harmonis hasil kerja pendahulunya.
“Saya hanya meneruskan fondasi yang sudah kokoh, tinggal memastikan sinergi berjalan konsisten,” pungkasnya.
(TN)