trustnews.id

Urusan Industri Sawit Indonesia Penuh Kompleksitas

TRUSTNEWS.ID,. - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) tak pernah lelah menyuarakan perlunya institusi/ badan atau lembaga khusus yang mengurusi sektor perkelapasawitan dari hulu sampai hilir dihampir tiap kesempatan.

Adalah Sahat M. Sinaga yang menyuarakan perlunya badan khusus sawit. Sebagai Direktur Eksekutif GIMNI dan juga sebagai Plt. Ketua Umum Dewan Masyarakat Sawit Indonesia (DMSI), dirinya melihat ada begitu banyak conflict of interest dalam pengelolaan sawit sebagai contoh kejadian kemelut minyak goreng rakyat di tahun 2022 lalu, jelas-jelas secara UU monopoli bahwa Produsen Sawit tidak boleh terlibat sampai ke distribusi, namun dalam pelaksanaan distribusi migor rakyat di tahun 2022 itu Produsen diminta juga untuk menjamin ketersampaian minyak goreng dengan ketetapan HET diterima oleh para konsumen. Hal ini mengakibatkan, keputusan atau kebijakan yang diambil pemerintah selalu terlambat dalam menyikapi persoalan yang kerap muncul dalam industri sawit.

Menurutnya, dari data yang dikumpulkan oleh GAPKI Sumut di tahun 2020 lalu itu, saat ini ada 17 kementerian yang terlibat dalam urusan sawit. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kementerian -kementerian terkait untuk dapat segera sinkroon untuk menjalankan suatu regulasi dan cenderung terjadi banyak dijumpai di lapangan perbedaan pandang yang terjadi karena tiap kementerian cenderung membawa misi kementeriannya.

“Campur tangan regulator terlalu besar dalam tata kelola minyak sawit ini, sebaiknya diserahkan ke 1 badan atau institusi yang bisa bergerak bebas, langsung report dan berposisi langsung dibawah Presidan,” ujarnya.

“DMSI berharap bermula dari Keppres no 9 tahun 2023 tentang Usaha Peningkatan Tata Kelola Industri Sawit, dan dari Keppres ini meningkat ke usaha pembentukan Badan Industri Komoditi Strategis - dari Hulu ke Hilir menjadi superbody untuk menuntaskan tata laksana industri 6 komoditi strategis nasional, yaitu sawit, karet, gula, kopi, kakao dan minyak atsiri sehingga informasi lapangan itu tidak terkotak-kotak diberbagai kementerian,” paparnya.

Dalam pandangannya, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam industri sawit. Pertama, sawit termasuk komoditas yang rentan terhadap harga, dimana fluktuadi harga berlangsung sangat cepat. Kedua, konsistensi regulasi.

“Kedua hal ini tidak berlaku. Soal fluktuasi harga butuh keputusan yang cepat sesuai dinamika tapi karena terlalu banyak yang terlibat sehingga keputusan yang diambil selalu terlambat,” ujarnya.

“Begitu juga soal konsisten twrhadap regulasi jangan seperti tahun kemarin, kebanyakan regulasi menjadi bingung. Dalam bisnis regulasi itu ngga bisa berubah, karena pebisnis butuh kepastian hukum agar bisa memprediksi bisnsnya,” paparnya.

Selain kedua hal tersebut, ditambahkannya, soal memahami aturan main agat tidak salah membuat regulasi.

“Pemerintah menganggap produsen punya jalur distribusi, ini ngga bisa. Produsen ngga boleh mendistribusikan barangnya sendiri. Di aturan tahun kemarin berseberangan,” ungkapnya.

Hal lain yang menjadi concern DMSI yakni keberadaan inti plasma sawit dinilai tidak lagi sesuai perkembangan jaman. Banyak kelemahan dari pola kerjasama kemitraan ini lantaran dalam praktek lapangan petani berposisi sebagai mitra yang lemah dan pasif (sleeping partner).

Sahat menjelaskan, sejak di mulai tahun 1978 konsep kebun sawit rakyat (inti plasma) tidak applicable. Ini dibuktikan secara mayoritas hubungan kerjanya “berantakan”. Kondisi ini dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, sangat beragam status pengelolaannya. Ada yang bersifat individu dan ada pula di bawah pengelolaan berkelompok seperti Koperasi atau GAKOPTAN. Tetapi, banyak pengurus koperasi berkarakter multi peran/ dan terjadi conflict of interest, dia sebagai pengurus koperasi dan juga bertindak sebagai petani. Disinilah terjadi problem salah urus yang menimbulkan kepentingan pribadi sehingga merugikan petani plasma lainnya.

Kedua, lemahnya pengetahuan Good Agriculture Practice (GAP) yang dimiliki petani plasma. Karena, selama program kemitraan untuk pengelolaan kebun berada di bawah kendali perusahaan (inti) seperti pemilihan bibit, pupuk, dan panen.

Ketiga mengenai posisi tawar petani yang lemah di hadapan perusahaan. Seringkali ditemukan kualitas buah sawit dari kebun petani ditentukan sepihak oleh perusahana begitu pula harga pembelian buah.

Keempat, petani plasma tidak mengetahui perhitungan biaya produksi. Dan, Kelima, kurangnya perencanaan jangka panjang petani plasma. Petani termasuk koperasi tidak mendapatkan penyuluhan oleh perusahaan dalam hal pengelolaan kebun sawit supaya efektif.

“Konsep inti plasma sawit atau bapak dan anak angkat ini memunculkan rasa tidak saling percaya. Terutama dari para petani. Karena petani sawit selalu dalam posisi yang inferior dan tidak ada keterbukaan,” ujarnya.

“DMSI sedang berusaha melakukan konsep baru, dan untuk itu kami melakukan kerjasama dengan PT.NGE dan PT.PIC. Konsep sudah jelas dan kini kini dalam tahap pelaksanaan antara Perusahaan PT.PIC dengan Koperasi Petani Sawit (SMADE). Hubungan kerja yang dibuat secara tertulis antara Perusahaan dan Koperasi Petani sanagt jelas, a.l. harga TBS dibayar oleh Perusahaan ( PO Mill) minimal sama dengan harga Disbun, dan Perusahaan (PO Mill) berkewajiban membantu operasional kebun sawit petani supaya bisa meningkatkan produktivitas tanaman lebih tinggi dari tahun ke tahun , dan diharapkan hubungan kerja yang professional begini dapat menjadi model dimasa mendatang,” pungkasnya.