trustnews.id

Mars I'm Coming
Sumber: google

Mars I'm Coming

DUNIA Jumat, 14 Juni 2019 - 06:14 WIB TN

Rencana Elon Musk memberangkatkan manusia ke Mars hanya tersisa hitungan tahun. Kisah Martian dalam novel menjadi Martir dalam kehidupan nyata.

Andy Weir menuangkan segala kegilaannya dalam buku berjudul The Martian ‘Si Penghuni Mars’ Imajinasi liar penuh paradok tentang perjuangan seorang astronot (ahli botani) di Planet Mars. Puncak keliaran fantasinya, saat astronot (Mark Watney) menanam kentang di Mars - tak perlu dipertanyakan soal keberadaan humus dan ketiadaan tumbuhan sebelumnya – untuk menjawab mengapa bisa tanaman tumbuh, Andy Weir menjelaskan mesin-mesin di dalam Hab dan MAV yang luar biasa mutakhir.
Di alam nyata, kegilaan Andy Weir terwakili Elon Musk. Pengusaha nyentrik, pemilik Space Exploration Technologies (SpaceX), ini berambisi membangun koloni manusia di Mars.
"Sangat penting untuk membangun basis di Mars karena jaraknya cukup jauh dari Bumi, sehingga kemungkinan untuk selamat dari kejadian seperti perang lebih besar dibandingkan membangun peradaban di Bulan," ujarnya dalam ajang South and Southwest (SXSW) di Austin, Texas, Amerika Serikat.
Bahkan lanjut Musk, kolonisasi manusia ke Mars harus menjadi salah satu prioritas utama sebagai usaha dalam menyelamatkan spesies tersebut. Salah satu ancaman yang menurutnya paling berpotensi memusnahkan ras manusia adalah perang dunia ketiga.
"Jika nanti terjadi perang dunia ketiga, kami ingin memastikan bahwa masih cukup tersedia manusia yang ada untuk memulai kembali peradaban dan memperpendek masa kegelapan," ujarnya penuh keyakinan.
Untuk mewujudkan ambisinya, Musk penuh keyakinan akan mengirim manusia ke Mars pada 2025, sementara Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) awalnya menargetkan tahun 2040. Namun kemudian NASA mengibarkan ‘bendera putih’ atas rencananya dengan alasan anggaran dan lebih berminat untuk mengeksplorasi Bulan. 
Sementara, Stephen Petranek, wartawan Amerika yang menulis buku berjudul "How We’ll Live on Mars". Petranek mengungkapkan, Amerika, Rusia, Eropa, Jepang dan China dan bahkan India, kata Petranek, telah meluncurkan 44 roket ke planet Mars, sebagian besar tidak mencapai tujuan atau jatuh ke permukaan planet itu. Hanya sepertiga dari seluruh pesawat antariksa itu yang berhasil mendarat dengan baik. 
"Mars jauhnya seribu kali dari jarak bumi ke bulan. Astronaut Apollo membutuhkan waktu tiga hari untuk terbang ke bulan, dan Mars jauhnya 250 juta mil dari bumi. Kita perlu terbang selama delapan bulan .untuk mencapai planet itu," kata Petranek.
Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan manusia bila tinggal di Mars?
Scott Solomon, seorang ahli biologi evolusioner sekaligus profesor di Rice University, Houston, Texas, Amerika Serikat, berpendapat bahwa manusia akan mengalami evolusi jika menjadi bagian dalam kolonisasi ke Mars. Perubahannya pun tidak sedikit, dan prosesnya diperkirakan bakal berlangsung cepat.
Dia menjelaskan, manusia akan benar-benar berubah setelah satu atau dua generasi di Mars. Tulang-tulangnya akan lebih kuat, pandangannya semakin terbatas, dan, yang paling menarik, mereka akan berhenti untuk melakukan hubungan seks dengan manusia Bumi.
Dalam teorinya, tulang manusia akan berevolusi. Evolusi pada tulang dimungkinkan tulang yang lebih padat sebagai imbas dari gravitasi Mars yang hanya sepertiga di Bumi. Pengurangan gaya itu dapat membuat tulang lebih rapuh yang bisa menimbulkan komplikasi seperti retaknya tulang panggul ketika seorang ibu menjalani persalinan.
Kemudian, habitat yang lebih sempit membuat penglihatan manusia di Mars lebih terbatas karena mereka tidak butuh melihat dengan jarak yang jauh seperti di Bumi. Solomon menyebut hal ini bisa terjadi merujuk pada studi yang menunjukkan bahwa anak yang lebih sering berada di dalam ruangan jarak pandangnya lebih pendek.
Lalu, para penghuni Mars nanti bisa menghasilkan warna kulit baru untuk menyesuaikan level radiasi di sana. Di sini, manusia menggunakan melanin untuk melawan ultraviolet dari Matahari. Penduduk Planet Merah bisa saja mengembangkan pigmen baru untuk menghadapi radiasi di sana.
Solomon juga menjelaskan bahwa manusia Mars akan belajar untuk menggunakan oksigen secara lebih efisien. Hal ini merujuk pada hasil observasi di dataran tinggi Tibet yang kadar oksigennya 40% lebih rendah dibanding di permukaan laut. 
Untuk beradaptasi, warga Tibet memiliki pembuluh darah kapiler yang lebih padat agar lebih efisien dalam mengalirkan darah. Selain itu, pembuluh darah mereka juga dapat melebar agar dapat mentransfer lebih banyak oksigen ke otot.
Satu prediksi Solomon yang terdengar cukup mengerikan adalah manusia Mars dapat kehilangan sistem imun dengan cepat. Hal ini lantaran lingkungannya tidak memiliki mikroorganisme yang membuat manusia tidak butuh kemampuan untuk melawan bakteri.
Meski begitu, Solomon mengatakan hal ini justru jadi peluang untuk menghapus penyakit. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat pesawat luar angkasa yang terbang ke Mars sebagai zona karantina dan memastikan orang-orang di dalamnya menjalani kehidupan yang lebih sehat di sana.
Walau demikian, ini justru mengarah ke hal yang tidak mengenakkan. Tanpa memiliki sistem imun, hubungan seks antara manusia Mars dengan manusia Bumi dapat menyebabkan kematian. 
Kegiatan tersebut dapat melewati batas dalam bagaimana dua populasi tersebut dapat berinteraksi dan berbaur. Ketidakmampuan dalam membentuk keluarga di antara dua versi manusia itu bisa membuat keduanya semakin jauh jaraknya.
Ini tentu patut diperhatikan oleh Elon Musk yang sudah berhasrat ingin membawa manusia ke Mars pada dekade 2020an. Menarik untuk ditunggu bagaimana ia menyiapkan manusia untuk menghadapi perubahan tersebut, bukan hanya mengumbar kemajuan pembuatan calon roket terkuat miliknya dalam diri Starship.(TN)