trustnews.id

Jurus Edy Sutopo Demi Furnitur Indonesia Mendunia
Edy Sutopo, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian

Permasalahan yang mendera industri furnitur nasional diurai. Mendirikan politeknik hingga meng-hire desainer.  

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menjelaskan, industri furnitur dan kerajinan nasional memiliki kemampuan menguasai pasar internasional. Hal itu dimungkinkan dengan ketersediaan bahan baku yang melimpah, memiliki design kuat dan keberagaman corak khas lokal. 
“Harusnya semua itu menjadi modal besar, namun Indonesia juga banyak keanomaliannya. Untuk customize produk masuk kategori high end, begitu bicara produk massal permintaan yang banyak kita langsung kewalahan,” ujarnya kepada TrustNews. 
Nilai ekspor furnitur nasional sepanjang tahun 2018,  lanjutnya  menembus hingga 1,69 miliar US dollar. Sedangkan nilai ekspor kerajinan nasional mencapai 823 juta US dollar.
“Kinerja ekspor masih rendah, masih di bawah 2 miliar US dollar, dibandingkan dengan Vietnam misalnya. Vietnam itu negaranya kecil, tapi ekspor sudah 10 miliar US dollar lebih,” ujarnya memberikan perbandingkan.
Menurut Edy, kondisi itu disebabkan pelaku industri furnitur dan kerajinan di Indonesia adalah pengusaha kecil. Kalaupun ada yang masuk dalam sistem produksi industri yang sebenarnya, jumlahnya terbilang kecil karena keterbatasan desain yang kuat.
“Secara umum hanya perusahaan asing atau perusahaan joint venture yang bisa memiliki sumber daya manusia yang punya keahlian mendesain  yang bagus,”ujarnya.
Persoalan lain, lanjutnya, perpindahan pabrik-pabrik dari DKI Jakarta ke daerah-daerah dikarenakan sistem pengupahan dinilai cukup tinggi. Pembangunan pabrik-pabrik di daerah dalam operasionalnya membutuhkan banyak sumber daya manusia, termasuk para pekerja di industri furnitur dan kerajinan.
Di daerah, karyawan pabrik dan karyawan furnitur, tak ubahnya langit dan bumi. Secara penampilan, karyawan pabrik jauh lebih wangi, modis dan berseragam. Sedangkan karyawan furnitur penuh debu dan serpihan kayu serta tak berseragam. Secara psikologis, bagi anak-anak muda, tampilan karyawan pabrik jauh lebih menarik dibanding karyawan furnitur. Ujung ceritanya, industri furnitur semakin kesulitan mencari karyawan.
“Jadi dari kemampuan sudah masalah, dari sisi kuantitas juga masalah, dari sisi mesin juga masalah. Dengan kondisi itulah bila sudah bicara skala massal, kita kalah karena kita  masih banyak yang menggunakan manual.  Sementara  di Vietnam di sana banyak investor Cina ke Vietnam, Cina itu luar biasa sekarang eksportir furnitur terbesar di dunia,” tegasnya.
Setelah mengetahui akar permasalahan yang membelit industri furnitur nasional, Edy mengaku langsung mengambil beberapa langkah. Dalam hal SDM, Kementerian Perindustrian memfasilitasi berdirinya Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah.
“Menteri Perindustrian menginginkan adanya politeknik industri pengolahan kayu, sekarang sudah mahasiswa angkatan pertama jumlahnya 99 orang dengan lama pendidikan 3 tahun (D3),” ujarnya.
Program studi yang diterapkan di Politeknik Industri Furniture meliputi Teknik Produksi Furniture, Desain Furniture dan Manajemen Bisnis Furniture.
"Dari pendidikan diharapkan ada entrepreneur-entrepreneur baru. Kita juga kekurangan entrepreneur,” tegasnya.
Begitu juga dengan persoalan desain, Edy memilih dengan pendekatan market intelejen. Tujuannya untuk mengetahui desain seperti apa yang sedang ngetrend di pasar internasional, sehingga mendapat tempat di hati konsumen asing.
“Kita meng-hire desainer dalam negeri yang sudah punya jam terbang tinggi, kemudian kita minta bantuan ke Bappenas untuk memberikan tenaga ahli dari Amerika atau Eropa. Mengapa? Karena yang tahu selera orang Eropa, ya orang Eropa itu sendiri untuk kemudian kita  kolaborasikan dalam membuat desain yang sesuai dengan selera Eropa,” ujarnya.
Sedangkan dalam urusan modernisasi mesin, Edy mengaku dilakukan secara bertahap dan lebih difokuskan pada restrukturisasi industri kecil. Meski penggunaan mesin akan mempermudah pekerjaan dalam jumlah besar. 
“Di luar negeri sudah menggunakan mesin CNC  (Computer Numerical Control) karena bisa bekerja 24 jam. Satu orang bisa pegang 4 mesin CNC dan dalam satu minggu bisa selesai, sedangkan dengan manual membutuhkan waktu satu bulan,” ujarnya.  (TN)