trustnews.id

Indonesia Negeri Unggul Biodiesel
Abdul Rochim Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin)

Indonesia Negeri Unggul Biodiesel

NASIONAL Senin, 31 Agustus 2020 - 10:30 WIB TN

Indonesia mencatatkan diri sebagai negara pertama yang menerapkan biodiesel dengan kandungan bahan bakar nabati mencapai 30%. Tak berhenti sampai di situ, pengembangan terus dilakukan. 
Menjadi pionir dalam penerapan biodiesel 30% atau B30 tidak begitu saja terjadi. Indonesia memang merupakan produsen sawit terbesar di dunia sehingga membuat bahan bakar nabati semacam biodiesel bukanlah hal mustahil. Tentu saja bukan hanya karena itu, penerapan mandatori biodiesel 30% adalah buah dari perencanaan dan pengembangan yang matang. 
Jauh sebelum B30 ini dipakai, Indonesia sejak 2008 sudah menerapkan campuran solar dengan biodiesel berbahan dasar sawit dengan kadar 2,5%. Secara bertahap kadar biodiesel ditingkatkan hingga 7,5% pada tahun 2010. Pada periode 2011 hingga 2015 persentase biodiesel ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya pada 2016 kadar biodiesel ditingkatkan hingga 20% (B20) dan pada 23 Desember 2019 Presiden Joko Widodo meresmikan penggunaan B30.  
“Program mandatori biodiesel B30 merupakan pencapaian yang luar biasa dari negara Republik Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia adalah negara yang menerapkan mandatori biodiesel dengan kandungan bahan bakar nabati tertinggi di dunia (30%),” ujar Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menjawab TrustNews.
Biodiesel yang digunakan di Indonesia merupakan hasil pencampuran antara solar dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang dihasilkan dari sawit. Karena itu pengembangan biodiesel akan sangat bergantung pada pasokan FAME yang berarti pula pengembangan sawit tidak boleh berhenti. Inilah tantangan yang harus dipenuhi. 
Selain itu, menurut Abdul Rochim, pasokan FAME tersebut harus konsisten dan ini menjadi tantangan tersendiri. Setelah itu, Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam penggunaan energi baru terbarukan dari bahan bakar nabati. “Tantangan lain bagaimana menjadikan Indonesia sebagai Arab Saudi-nya Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis biodiesel FAME, melalui peningkatan investasi industri biodiesel dari dalam dan luar negeri,” tegasnya.
Menurutnya, penerapan penggunaan biodiesel membutuhkan dukungan riset, upaya pengembangan, termasuk dukungan dana. Kebutuhan tersebut kini menjadi lebih mudah dengan hadirnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang menyalurkan dana yang dikelolanya untuk pengembangan sawit berkelanjutan, termasuk untuk pengembangan BBN berbasis sawit. Dana dari BPDPKS berasal dari pungutan ekspor sawit dan turunannya yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU) tersebut. 

Bahan Bakar Hijau
Dukungan dari BPDPKS tidak hanya berhasil mewujudkan penerapan mandatori biodiesel, tetapi juga mengembangkannya ke tingkat yang lebih lanjut, yakni pengembangan bahan bakar biohidrokarbon atau green fuels atau bahan bakar hijau dari sawit. “Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mendukung Industri kelapa sawit berkelanjutan sangat kuat dan konsisten.”
Komitmen itu diwujudkan dengan beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO dan berikutnya Inpres No 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan tahun 2019-2024. Inpres ini ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Menko Bidang Perekonomian RI Nomor 229 tahun 2020 tentang Tim Nasional Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan tahun 2019-2024.
Di sektor industri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga siap memberikan dukungannya. “Kemenperin telah memberikan fasilitas kepada beberapa pabrik investasi pabrik biodiesel untuk mendapatkan tax allowance sejak tahun 2007. Pada umumnya tax allowance diberikan setelah disetujui secara trilateral oleh Kementerian Keuangan, BKPM dan Kemenperin sebagai instansi pengusul,” ujarnya.
Selain itu, Kemenperin juga aktif dalam koordinasi perencanaan dan evaluasi pelaksanaan mandatori B30 yang dikoordinasikan oleh Kemenko Bidang Perekonomian sejak tahun 2018 sampai dengan saat ini. “Tentunya dengan adanya koordinasi antar pemangku kepentingan, pemberian fasilitas tersebut dapat terlaksana dengan baik dan bermanfaat mendukung daya saing industri biodiesel nasional,” tegasnya.
Tak hanya aktif dalam koordinasi perencanaan dan evaluasi pelaksanaan mandatori,  Kemenperin juga mendukung langkah Pertamina dan pelaku usaha lain yang akan mengembangkan industri bahan bakar hijau di dalam negeri. 
Beberapa insentif yang telah disiapkan antara lain tax holiday yang diatur melalui PMK 150/2018 dan Perka BKPM No. 1 tahun 2019. Kemenperin juga mendukung tumbuhnya industri/pabrik katalis dalam negeri, termasuk untuk memproduksi katalis merah putih dengan teknologi dalam negeri.
“Saat ini sedang akan dibangun pabrik katalis yang menjadi kerjasama antara Pertamina, Pupuk Indonesia Holding Company dan ITB di Cikampek (kompleks PT Pupuk Kujang Cikampek/red),” paparnya.
Hanya saja, penguatan riset biodiesel dan bahan bakar nabati lainnya hendaknya mengikutsertakan Kemenperin. Ini terkait penguatan teknologi produksi Biodiesel berbasis Tigkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Tinggi, adaptibilitas dan kompatibilitas dengan industri mesin (permesinan) pengguna B30, khususnya pada campuran mandatori yang semakin meningkat. Selain itu akan dikembangkan pula produksi biodiesel FAME dari minyak nabati nonpangan lain seperti dari minyak kemiri sunan, minyak nyamplung dan minyak bintaro.
“Ke depan, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi hingga bahan bakar hijau (green fuels) yaitu bensin hijau, diesel hijau dan avtur hijau (yang secara kualitas lebih baik dari pada biodiesel, bioetanol konvensional),” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, pada 16 Juli 2020, Menteri Perindustrian telah menyaksikan dan menerima contoh produk perdana diesel hijau yang diproduksi dari 100% minyak sawit berupa Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) di Kilang Pertamina Dumai. Bahan bakar tersebut diproduksi menggunakan katalis merah putih yang dikembangkan bersama antara Pertamina-ITB yang risetnya didukung oleh BPDPKS.
Abdul Rochim juga melihat pentingnya keberadaan BPDPKS dalam implementasi kelapa sawit berkelanjutan. Ini tercermin dalam program penyaluran dana perkebunan seperti untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), penguatan kapasitas petani rakyat, kemitraan dengan stakeholder nasional dan global terkait sawit berkelanjutan serta kegiatan riset dan pengembangan yang selaras dengan prinsip sawit berkelanjutan untuk mengimplementasikan 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB.
“Sampai saat ini, dana perkebunan tersebut telah dapat dikelola dengan baik oleh BPDPKS sehingga memberikan manfaat bagi seluruh stakeholder kelapa sawit Indonesia,” pungkasnya. (TN)