trustnews.id

GIMNI Indonesia Kehilangan Kendali atas Harga CPO
Dok, Istimewa

GIMNI Indonesia Kehilangan Kendali atas Harga CPO

NASIONAL Selasa, 19 Agustus 2025 - 12:09 WIB TN

TRUSTNEWS.ID - Di papan catur perdagangan komoditas global, Indonesia seharusnya menjadi ratu. Dengan lebih dari separuh pasokan minyak sawit mentah (CPO) dunia berasal dari kebun-kebunnya, negeri ini seharusnya menjadi penentu harga, bukan pengikut. Namun kenyataannya justru berbanding terbalik: peran Indonesia dalam menentukan harga CPO makin tak terdengar.

Kontradiksi ini tak hanya disebabkan oleh tekanan dari luar negeri. Menurut Sahat Sinaga, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), kendali yang kian menghilang atas nasib komoditas unggulan ini muncul dari tekanan eksternal sekaligus kekacauan internal.

Yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pedagang dan eksportir Indonesia lebih memilih Bursa Malaysia sebagai acuan harga ketimbang bursa dalam negeri. Sahat menyebut akar persoalannya adalah krisis kepercayaan.

“Bursa kita tidak dipercaya. Dan kita tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya,” katanya.

Maka terjadilah ironi: produsen CPO terbesar di dunia malah bergantung pada bursa negara tetangga untuk menentukan harga.

Masalah ini tak semata teknis. Bursa komoditas domestik seperti ICDX nyaris tidak likuid, minim partisipasi, dan tidak dianggap relevan secara global. Sahat menekankan bahwa Kementerian Perdagangan harus mendorong reformasi menyeluruh. Tanpa insentif yang jelas, peraturan yang tegas, dan transparansi sistemik, pelaku usaha—lokal maupun global—tidak akan melihat Indonesia sebagai pusat harga dunia yang kredibel.

“Harga kita didikte pemain global dengan angka yang tidak masuk akal,” ujar Sahat kepada TrustNews.

Dia mencontohkan, pada awal Juni 2025, harga CPO di Eropa menyentuh 1.351 dolar AS per metrik ton, sementara minyak kedelai—pengganti terdekatnya—hanya dihargai 1.082 dolar AS.

“Selisih 200 dolar itu tidak masuk akal,” keluhnya dengan melanjutkan, “Kita ini seharusnya jadi rujukan harga dunia.”

Namun, ketidakpercayaan ini bukan hanya soal pasar. Di balik kelambanan struktural, terdapat persoalan yang lebih mendalam: jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan pelaku industri. Sahat menunjuk ketimpangan data ekspor antara laporan Departemen Pertanian AS (USDA) dan data Bea Cukai Indonesia.

“Ada kebocoran. Ada yang tidak melapor. Tidak bayar bea keluar, tidak setor pungutan, bahkan mungkin tidak bayar pajak,” ungkapnya.

“Dan pemerintah diam saja. Entah tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu.”

Solusi yang ditawarkannya cukup berani, wajibkan seluruh transaksi sawit, termasuk antar perusahaan dalam satu grup, dilakukan lewat bursa resmi.

“Meskipun dimiliki satu holding, secara hukum itu entitas berbeda,” jelasnya.

“Kalau tidak, bisa masuk ranah monopoli menurut KPPU,” tegasnya.

Untuk menarik minat pelaku usaha, Sahat mengusulkan sistem seperti “green card” di Amerika Serikat. Perusahaan yang menyalurkan semua transaksinya melalui bursa akan dibebaskan dari audit pajak berulang.

“Kalau semua data transaksi sudah terekam, tidak perlu lagi ada petugas pajak tanya-tanya. Sudah jelas semuanya,” katanya.

“Kalau masih diperiksa juga, bubarkan saja bursanya.”

Secara bisnis, manfaatnya jelas, yakni perusahaan mendapat kepastian, pemerintah mendapat data, dan negara memperoleh penerimaan yang lebih jujur. Namun tantangan budaya tak kalah besar.

“Tidak seperti korporasi global yang siap diaudit dengan rapi. Di sini selalu ada area abu-abu. Selalu ada tawar-menawar. Kadang, ada juga amplop,” urainya.

Tantangan lain datang dari krisis persepsi yang melingkupi industri ini. Isu kriminalisasi terhadap pelaku usaha mencuat, salah satunya melibatkan Wilmar Group, salah satu perusahaan agribisnis terbesar dunia.

“Itu hoaks,” tegas Sahat. “Wilmar sudah klarifikasi, mereka tidak bersalah. Dana Rp11 triliun itu jaminan, bukan sitaan. Tapi publik kadung percaya sebaliknya.”

Mispersepsi ini tak hanya berdampak di dalam negeri, tetapi juga mengganggu kepercayaan investor asing.

“Di Singapura mereka tahu itu hanya jaminan. Di Jakarta, dianggap itu uang hasil kejahatan. Investor jadi ragu. Mereka mulai bertanya: apakah Indonesia aman untuk berinvestasi?” katanya

Dunia tidak menuntut lebih banyak sawit, melainkan sawit yang bertanggung jawab. Dan, itu dimulai bukan dari Brussel atau Singapura, tapi dari Jakarta.

“Kita ini bukan sedang menghadapi krisis sawit. Kita sedang menghadapi krisis kepercayaan di rumah sendiri,” pungkasnya. (TN)