trustnews.id

Pakar: Budidaya Nila KJA Danau Toba Harusnya Dioptimalisasi Bukan Dikanibalisasi
Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dalam acara Katadata Forum Virtual Series "Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila Untuk Masyarakat Toba", Kamus (16/12/2021).

Jakarta - Pakar Ekonomi Kemaritiman yang juga Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof Rokhmin Dahuri, MS mengatakan bahwa budidaya ikan nila di Danau Toba sumatera utara seharusnya dioptimalisasi bukan dikanibalisasi dalam arti dilarang usahanya untuk pembangunan pariwisata. Hal tersebut disampaikan Prof Rokhmin saat menjadi narasumber Katadata Forum Virtual Series "Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila Untuk Masyarakat Toba", Kamus (16/12/2021).

“Ditetapkannya Danau Toba sebagai Kawasan Pariwisata Nasional tidak perlu menggusur usaha budidaya ikan nila (KJA) yang sejak awal 2000-an telah berkontribusi signifikan bagi perekonomian Provinsi Sumatera Utara, khususnya di sekitar Danau Toba dan Nasional,” katanya.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu menegaskan bahwa yang harus dilakukan oleh Pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah mendayagunakan Danau Toba untuk Kegiatan Pariwisata, Perikanan Budidaya, Sumber Baku Air Minum, Sumber Air Irigasi, Pembangkit Listrik, dan Konservasi berdasarkan pada Daya Dukung Lingkungannya, sehingga Semua Kegiatan Ekonomi itu dan Ekosistem Danau Toba dapat terpelihara secara Optimal, Harmonis, dan Berkelanjutan (Sustainable).

“Berdasarkan Perpres no. 81 tahun 2014, salah satu fungsi Danau Toba adalah untuk budidaya perikanan. Kontribusi usaha budidaya nila di danau toba dimana sekitar 85 % total volume ekspor ikan Nila Indonesia berasal dari usaha KJA di D. Toba. Dengan nilai Ekspor sebesar USD 100 Juta (Rp 1,5 trilyun) per tahun. Kita juga harus ingat bahwa tilapia atau nila terbaik di dunia adalah dari hasil budidaya danau toba,” terangnya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menambahkan jika budidaya nila di danau toba juga berkontribusi dalam menyediakan lapangan kerja yakni sekitar 2.500 orang pembudidaya (on farm); dan sekitar 12.000 orang yang bekerja di sektor hulu (pabrik pakan, alsintan, hatchery, dan lainnya), di sektor hilir (industri pengolahan filet ikan nila, pabrik es, cold storage, packaging, dan lainnya), rumah makan, hotel, transportasi, dan industri serta jasa terkait lainnya.

“Selama 2016-2020, ekspor Tilapia asal Sumut berkontribusi sekitar 84% volume ekspor nila nasional dan 88% nilai ekspor nila Nasional,” jelasnya.

Sejak ditetapkannya Danau Toba sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata (Kemenpar dan Kemenko Maritim) pada awal 2016, Rokhmin menyebut ada isu bahwa usaha budidaya ikan nila KJA di D. Toba akan diturunkan produksinya hingga 10.000 ton/tahun mulai tahun 2022 (Surat Menteri LHK kepada Gubernur Sumut, 3 April 2017).

Terkait dengan kebijakan tersebut, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu menilai kurang tepat dan tidak akan menyelesaikan masalah, karena menurutnya pertama, pariwisata dan aktivitas budidaya ikan dalam KJA (Keramba Jaring Apung) yang ramah lingkungan bisa berdampingan dan berkembang bersama (simbiose mutualisme), asalkan ada pengaturan.  Bahkan, di negara-negara lain aktivitas KJA bisa dijadikan obyek (daya tarik) wisata.

“Kedua, daya dukung perairan Danau Toba untuk usaha budidaya ikan KJA sebesar 10.000 ton/tahun itu terlalu rendah.  Karena, menurut LIPI bahwa daya dukung tersebut sekitar 35.000 ton – 85.000 ton per tahun (2019), KKP sebesar 56.000 ton/tahun (2018), dan IPB sebesar 60.000 ton/tahun (2021),” ungkapnya.

Ketiga, penetapan Daya Dukung perairan Danau Toba untuk KJA yang terlalu rendah oleh Kemen LHK dan BLHD Sumut itu berdasarkan pada status perairan Danau Toba yang oligotrofik (kadar P-total < 10 ug/liter).  Seharusnya (yang benar) adalah bahwa status perairan D. Toba adalah mesotrofik (kadar P-total < 30 ug/liter).  “Karena, status mesotrofik itu sudah tergolong ekosistem perairan dengan kualitas baik.  Dan, sejak tahun 1980-an, hampir tidak ada danau di dunia dengan status oligotrofik (Linden, 2016),” ujarnya.

Keempat, beban pencemaran fosfor (P) dari 23 DAS yang masuk ke D. Toba itu 53 kali lipat dibandingkan yang berasal dari KJA (Balitbang KKP, 2017).  BLHD Sumut mengasumsikan kandungan P dalam ikan 3,4 kg/ton ikan, yang benar 7 kg/ton ikan. “Kandungan P dalam pakan diasumsikan 12,65 kg/ton pakan, yang benar 10 kg/ton ikan,” tandasnya.

Kelima, Kebijakan Zero-KJA atau pembatasan total produksi ikan nila dari KJA sebesar 10.000 ton/tahun akan mengakibatkan: (1) puluhan ribu orang menganggur (kehilangan pekerjaan), (2) kehilangan devisa Rp 1,5 trilyun/tahun, (3) kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp 5 trilyun/tahun, (4) penurunan ekonomi wilayah di sekitar D. Toba (7 Kabupaten), dan (5) memburuknya iklim investasi dan kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business), bukan hanya untuk wilayah Provinsi Sumut, tetapi juga nasional.

Keenam, usaha KJA menyediakan tenaga kerja sekitar 14.500 orang dengan income rata-rata Rp 5 juta/orang/bulan (> UMR DKI Jakarta Rp 4,2juta/orang/bulan).  Pada 2015 total tenaga kerja sektor Pariwisata D. Toba hanya 7.000 orang.  Berdasarkan pada perhitungan Best Case Scenario, pada 2026 Pariwisata akan menyerap tenaga kerja 10.000 orang, dan pada 2041 sebanyak 15.000 orang (Deltares, 2017).