trustnews.id

D100 Satu Lagi Bahan Bakar dari Sawit
Prof. Dr. Subagjo, guru besar ITB yang terlibat dalam proyek D100

D100 Satu Lagi Bahan Bakar dari Sawit

MAKRO Sabtu, 15 Agustus 2020 - 09:27 WIB TN

Setelah sukses menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan bahan bakar B30, Indonesia kini memiliki D100 yang diproduksi 100% dari sawit.
Sekali lagi Indonesia boleh berbangga diri. Inovasi di sektor energi yang telah diupayakan sejak lama kini telah berbuah hasil. Indonesia kini memiliki bahan bakar nabati yang berasal dari 100% produk turunan sawit yang disebut D100. Inilah bahan bakar nabati (BBN) yang kelak menggantikan bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil. 
Adalah PT Pertamina (persero) yang membuatnya. Melalui kolaborasi dengan kalangan peneliti dengan riset yang didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Pertamina berhasil memproduksi D100 di kilang Dumai. 
D100 atau green diesel atau juga disebut diesel biohidrokarbon merupakan hasil pengolahan 100% minyak nabati yang dalam hal ini produk turunan sawit berupa Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang diolah menggunakan katalis. Karakteristik D100 sama seperti minyak solar sehingga bisa digunakan pada kendaraan diesel atau mesin-mesin lain yang menggunakan bakan bakar diesel.
Perlu diingat bahwa jauh hari sebelum D100 berhasil diproduksi, Indonesia sudah memiliki bahan bakar yang juga bersumber dari sawit, yakni B20 dan B30 yang kini tengah digunakan kendaraan diesel di tanah air melalui program mandatori biodiesel. 
B20 dan B30 atau bahkan B100 tentu saja berbeda dengan D100 karena B20 dan B30 merupakan hasil pencampuran antara minyak solar dengan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dari sawit. Angka 20, 30 menunjukkan kadar FAME yang dicampurkan dengan solar. B20 berarti terdiri dari 20% FAME dan 80% solar, B30 berarti 30% FAME dan 70% solar. 
D100 tidak dihasilkan dari pencampuran itu. Melainkan dari RBDPO, yakni minyak sawit yang sudah dibersihkan dari getah dan bau yang kemudian direaksikan di kilang dengan katalis. Dalam hal ini katalis yang digunakan adalah katalis Merah Putih, yakni satu-satunya katalis yang disintesis dengan teknologi nasional yang dikembangkan oleh Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalis (TRK) Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB). 
“D100 lebih ramah lingkungan karena gas karbondioksida yang dilepaskan lebih sedikit dari B100 atau FAME,” jelas Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Budi Santoso Syarif sebagaimana dilansir situs Pertamina. 
Katalis merupakan salah satu komponen penting dalam proses pengolahan minyak bumi, dan selama ini masih banyak tergantung dari impor. Dalam kaitan ini, kehadiran katalis Merah Putih menjadi faktor penentu keberhasilan produksi D100.
Keberadaan katalis Merah Putih juga tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses penelitian yang panjang oleh TRK ITB bekerja sama dengan Pertamina Research and Technology Centre (RTC) dengan dukungan pendanaan dari BPDPKS. Dengan katalis inilah kemudian Pertamina mengolah RBDPO di kilang Dumai hingga menghasilkan D100. 
Dukungan BPDPKS bagi pengembangan riset terkait sawit tidak hanya diberikan kepada ITB untuk pengembangan katalis. BPDPKS memandang dukungan ini penting untuk mengembangkan industri sawit nasional. Bahkan, belum lama ini BPDPKS menandatangani 14 perjanjian penelitian dan pengembangan baru terkait sawit. 
“Penelitian dan pengembangan merupakan salah satu elemen penting dalam pengembangan sektor perkebunan sawit, sehingga penelitian dan pengembangan harus menjadi salah satu bagian dari proses utama dalam upaya pengembangan kelapa sawit berkelanjutan,” ujar Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman saat memberikan sambutan dalam penandatangan 14 perjanjian penelitian dan pengembangan, Rabu (1/7/2020). 
Prospek Pemanfaatan 
Subagjo, guru besar ITB yang terlibat dalam proyek D100, mengungkapkan bahwa produk D100 pada prinsipnya sudah bisa digunakan dan dipasarkan secara komersial. Namun, proses pengujian oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) harus terlebih dulu dilalui. 
“Saya kira itu sudah bisa dipasarkan, tapi tetap harus melakukan pengujian dari Lemigas barangkali ada kelemahan. Yang saya tahu diesel hidrokarbonnya sama dengan bahan bakar fosil, jadi mestinya tidak ada kelemahan. Etanolnya sangat tinggi bernilai 83, kalau di laboratorium 90. Jadi cetane number 80-90, kemudian kadar sulfurnya rendah jadi jika dicampur sangat baik,” ujar Subagyo sebagaimana dikutip Berita Satu saat berbicara dalam acara "Hot Economy" yang disiarkan oleh Berita Satu TV, Senin (20/7/2020). 
Uji coba penggunaan pada kendaraan juga sudah dilakukan oleh Pertamina, yakni pada unit mobil Toyota Innova. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, bersama Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati bahkan pernah menjajalnya langsung, menyusuri kota Dumai dengan mengendarai mobil tersebut. 
Ke depannya, tidak hanya D100, Pertamina bahkan sudah merencanakan untuk memproduksi green avtur pada akhir tahun 2020. Produksi green avtur juga sama dengan D100, yakni berbahan baku RBDPO dan direncanakan diproduksi di kilang Cilacap dan Plaju. 
“Selain kilang Dumai yang sudah berhasil mengolah 100% minyak sawit menjadi green diesel D100, Pertamina juga akan membangun dua standalone biorefinery lainnya yaitu di Cilacap dan Plaju,” ujar Nicke saat mengunjungi pembangunan standalone biorefinery Cilacap, Selasa (21/7/2020). 
Uji coba green avtur ini akan semakin memantapkan langkah Indonesia dalam mewujudkan energi hijau sekaligus mengembangkan industri sawit nasional. Tentu saja, dukungan dari semua pihak di dalam negeri mutlak diperlukan. ***