trustnews.id

Efri Jhonly: Covid-19 Membangun Ulang Nasionalisme 
Efri Jhonly, Direktur Utama Propertindo Utama

Pandemi Covid-9 menjadi momentum bangsa dalam membangun nasionalisme terhadap Indonesia. Apalagi resesi di depan mata, bukan waktunya lagi berdebat dan ego sektoral. 

Lima bulan lebih dilanda pandemi Covid-19, daya tahan Indonesia mulai melemah. Itu terlihat dari kontraksi pada triwulan kedua 2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 5,32 persen (y-on-y). ini pertama kalinya sejak dihantam krisis moneter 1998, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi.  
Badan Pusat Statistik (BPS) membandingkan (triwulan I-2020), ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 4,19 persen (q-to-q). Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh melemahnya ekonomi global sejalan dengan pandemi COVID-19 dan menurunnya aktivitas ekonomi domestik sebagai dampak kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran pandemi COVID-19. 
Melihat kondisi itu, ketakutan Indonesia masuk dalam jurang resesi pun menghantui. Apalagi, ekonomi pada kuartal III kembali mencatatkan pertumbuhan negatif, maka ini semakin menyulitkan Indonesia lepas dari jerat resesi. 
Efri Jhonly, Direktur Utama Propertindo Utama, melihat sejak awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah kerap kali tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya. 
Dia pun menyebut soal Kelonggaran pembayaran kredit kendaraan selama satu tahun bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal seperti sopir ojek online.  Pernyataan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo, justru melahirkan kisruh di tengah masyarakat. 
“Presiden bilang keringanan, namun di lapangan terjadi kesimpangsiuran akan keringanan cicilan tersebut.  Ini dikarenakan, belum jelasnya aturan terkait tata cara keringanan bayar yang akan diberikan dan hanya sebatas himbauan, soal pelaksanaannya dikembalikan pada kebijakan masing-masing perusahaan,” ujar Jhonly kepada TrustNews.
Namun bukan berarti pemerintah tidak kerja keras, lanjutnya, pemerintah sangat bekerja keras dalam menghadapi pandemi Covid-19. Hanya saja, tidak satu suara dan masih terlihat ego sektoral di tiap kementerian dalam menyikapi persoalan Covid-19.
“Apakah Presiden tidak bekerja keras, sangat bekerja keras. Hanya saja kita melihat tidak satu suara dalam menangani Covid-19. Coba saja lihat berapa kali presiden marah-marah. Ini ada apa sebenarnya, masyarakat melihat itu semua” paparnya.
Jhonly melihat pandemi Covid-19 menjadi momentum kebangkitan kembali nasionalisme terhadap Indonesia. 
“Semua anak bangsa bersatu, para pengusaha bersatu, para konglomerat bersatu memberikan apa yang terbaik dari mereka untuk Indonesia. Para konglomerat, misalnya ini wujud pembuktian, jangan malah mengurangi jumlah karyawan dengan alasan Covid-19,” tegasnya.
Apalagi diingatkannya, Indonesia di ambang resesi. Baginya, bila itu terjadi akan berdampak sangat menyangkitkan bagi seluruh rakyat yang sudah terpuruk. 
“Pemerintah mau kerja keras kayak apapun tidak akan sia-sia, bila tak di dukung oleh para pengusaha dan konglomerat. Orang-orang kaya yang memarkirkan uangnya di luar negeri keluarkan, buktikan cinta Indonesia dan bukan parasit. Ayo bersama benahi Indonesia, tunjukkan nasionalisme kita jangan nunggu sampai resesi bisa puasa panjang nanti,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, suatu negara disebut mengalami resesi jika pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut di tahun yang sama.
Mirisnya, survei data BPS yang dilakukan sejak Januari-April 2020, jumlah perusahaan yang memasang iklan lowongan kerja menurun drastis. 
survei yang dilakukan pada situs pencarian kerja memberikan gambaran,  jumlah perusahaan yang memasang iklan lowongan kerja turun lebih dari 50 persen di April 2020. Sementara jumlah iklan lowongan kerja turun lebih dari 75 persen.
Secara rinci, jumlah iklan lowongan kerja pada April 2020 hanya mencapai 2.439 lowongan, merosot tajam hingga 78 persen jika dibandingkan dengan periode Maret 2020 yang mencapai 11.090 lowongan.
Sementara untuk perusahaan yang memasang iklan lowongan kerja, pada periode Maret 2020 masih terdapat 502 perusahaan, sementara di April 2020 hanya 235 perusahaan. Artinya, terjadi penurunan 53,18 persen dalam waktu satu bulan saja.
Pemerintah sendiri memprediksi angka pengangguran diprediksi naik 2,92 juta orang dalam skenario berat dan naik 5,23 juta orang dalam skenario sangat berat.
Hal itu tentu berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, jika resesi terjadi di Indonesia. Pemerintah memproyeksi angka kemiskinan bertambah 1,89 juta orang pada skenario berat dan bertambah 4,86 juta orang pada skenario sangat berat di tahun ini.
“Bukan waktunya lagi berdebat dan ego sektoral sementara kapal negeri sudah mau tenggelam. Krisis 1998 memang susah, tapi kita masih bisa berdagang dan ketemu orang. Sekarang sudah ekonomi susah, susah pula ketemu orang dengan adanya pembatasan,” pungkasnya.  (TN)