
TRUSTNEWS.ID - Di tengah tuntutan dunia yang semakin kuat untuk beralih ke energi bersih, panggung global seakan berubah menjadi arena perlombaan menuju masa depan tanpa emisi. Bagi Indonesia, arus besar ini adalah tantangan sekaligus peluang, tantangan untuk bergerak cepat sebelum tertinggal, dan peluang untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam sebagai bahan bakar masa depan yang bersih, mandiri, dan berkelanjutan.
Dalam pandangan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), tahun 2025 dinilai potensial, terutama sebagai babak dalam menentukan masa depan energi nasional. METI melihat, kemandirian energi bukan sekadar jargon, melainkan sebuah perjalanan panjang yang harus dipacu dengan mengedepankan strategi tajam, inovasi teknologi mutakhir, dan kebijakan yang berjalan seirama.
Executive Director METI Yudha Permana Jayadikarta menggambarkan, 2025 sebagai “tahun peluang emas,” sebuah momentum langka yang diyakini bisa membuat Indonesia melesat menuju era listrik hijau dan bahan bakar ramah lingkungan. Namun, ia mengingatkan, peluang ini tidak akan berarti tanpa percepatan di semua lini.
Menurut Yudha, arah kebijakan energi terbarukan (ET) sebenarnya sudah jelas. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menetapkan penambahan 42,6 gigawatt (GW) kapasitas terbarukan hingga 2034, dengan porsi terbesar dari tenaga surya. Target jangka panjangnya, 75 GW energi terbarukan beroperasi pada 2040. “Itu berarti kita harus menambah sekitar 5 GW per tahun — setara membangun puluhan proyek sebesar PLTS Cirata setiap tahunnya,” ujarnya kepada TrustNews belum lama ini.
Namun, Yudha menilai kecepatan realisasi masih agak tertahan. Hambatan regulasi, keekonomian proyek, dan perizinan dinilai masih menjadi penghalang. Untuk itu, Yudha menekankan perlunya standarisasi pengadaan, perbaikan kontrak, serta sinkronisasi antara PLN dan Pertamina, agar listrik hijau dan bioenergi bisa berkembang paralel. “Kunci keberlangsungan ET ada pada pipeline yang bankable, cepat ditenderkan, dan terkoneksi tanpa rumit,” tambahnya.
METI juga mendorong optimalisasi aset yang sudah ada. Banyak pembangkit EBT, seperti PLTS, PLTB, dan PLTA kecil, belum beroperasi di kapasitas maksimal. Pemeliharaan prediktif, sistem operasi berbasis load forecasting, dan peningkatan interkoneksi jaringan dinilai dapat mendongkrak produksi listrik hijau tanpa menunggu pembangkit baru.
Di sisi teknologi, penyimpanan energi menjadi fokus utama. RUPTL memproyeksikan 27 GW Battery Energy Storage System (BESS) hingga 2034. Implementasi awal, mulai 2025 akan mengurangi curtailment listrik surya dan angin, sekaligus memungkinkan distribusi energi saat beban puncak. METI juga menyoroti potensi power wheeling, yakni pemanfaatan jaringan transmisi PLN oleh pihak ketiga untuk mengalirkan listrik hijau lintas lokasi.
Selain kelistrikan, METI memandang bioenergi sebagai “jembatan” dekarbonisasi di transportasi dan industri. Program B35 sudah berjalan penuh, sementara roadmap menuju B40–B50 sedang difinalisasi. Co-firing biomassa di PLTU eksisting, injeksi biometana ke jaringan gas, dan pengembangan sustainable aviation fuel menjadi langkah strategis mengurangi impor BBM dan ketergantungan pada batu bara.
Untuk 2025, METI mengidentifikasi tiga jenis ET unggulan, yakni tenaga surya, tenaga angin, dan bioenergi. Tenaga Surya masih menjadi primadona karena potensi teknisnya mencapai lebih dari 3.200 GWp dan waktu pembangunannya yang singkat. Tenaga Angin menempati posisi kedua dengan potensi 155 GW, terutama di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sementara bioenergi menonjol karena bersifat dispatchable dan dapat dioperasikan sesuai kebutuhan sistem.
Kendati demikian, METI tidak mengesampingkan panas bumi dan hidro besar sebagai penopang baseload. Panas bumi, dengan potensi 24 GW, terus bertambah kapasitasnya, sementara proyek hidro raksasa seperti PLTA Mentarang akan menopang kelistrikan Kalimantan dan berpotensi mengekspor listrik hijau.
Yudha menegaskan, pengembangan ET unggulan harus diselaraskan dengan kapasitas jaringan transmisi. “Kalau hanya berhenti di potensi, kita tidak akan bergerak. Perlu transmisi hijau lintas pulau agar energi terbarukan bisa menjangkau pusat beban,” katanya.
METI optimistis, jika strategi percepatan, inovasi teknologi, dan kebijakan pro-investasi dijalankan secara paralel, Indonesia bukan hanya mampu mencapai target bauran energi, tapi juga memperkuat ketahanan energi nasional. “Transisi energi ini bukan sekadar tren global, tapi kebutuhan mendesak untuk kemandirian dan keberlanjutan bangsa,” pungkas Yudha meyakinkan. (TN)