trustnews.id

IPSA 2025: Indonesia Hadir dengan Gagasan, Bukan Sekadar Delegasi
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS - SEOUL – SEOUL – Indonesia memperkuat posisinya dalam tataran diplomasi global dengan tampil gemilang di forum International Political Science Association (IPSA) World Congress 2025 di Seoul. Dengan mengusung panel Panel Indonesia bertajuk: Resisting Autocratization in Polarized Societies: Lessons from Indonesia, Southeast Asia, and Beyond yang mengangkat tema "Democratic Resilience in the Age of Polarization", para akademisi dan praktisi Indonesia menyuarakan pentingnya ketahanan demokrasi dari perspektif negara berkembang.

IPSA World Congress merupakan ajang ilmiah terbesar di bidang ilmu politik yang diadakan setiap tiga tahun, mempertemukan ribuan ilmuwan politik, pembuat kebijakan, diplomat, dan penggiat demokrasi dari seluruh dunia. Forum ini menjadi ruang penting untuk mengulas tren global, berbagi pengetahuan, dan menguatkan jejaring internasional dalam rangka menjawab tantangan demokrasi kontemporer.

 

The 2025 IPSA World Congress of Political Science diselenggarakan pada 12–16 Juli 2025 di Coex Convention Center, Seoul, Korea Selatan. Mengusung tema Resisting Autocratization in Polarized Societies, kongres ini dipimpin oleh Profesor Irasema Coronado dan Azul A. Aguiar Aguilar, dan mencetak rekor kehadiran tertinggi dalam 76 tahun sejarah IPSA, yakni sebanyak 3.370 peserta dari 95 negara. Sebanyak 3.053 makalah dipresentasikan dalam 776 panel, termasuk empat sesi pleno dan enam sesi penghargaan. Sepuluh negara teratas berdasarkan jumlah peserta adalah Korea Selatan (387), Amerika Serikat (328), India (314), Jepang (299), Polandia (139), Jerman (138), Inggris (127), Taiwan (123), serta Kanada dan Filipina masing-masing 119 peserta.

Pembukaan kongres IPSA 2025 di Seoul dihadiri oleh Presiden Korea Selatan terpilih yang baru dilantik, Lee Jae Myung. Dalam pidatonya, Presiden Korsel menegaskan bahwa demokrasi dunia sedang menghadapi tekanan luar biasa dari dalam dan luar negeri. Ia menyampaikan, “Demokrasi tidak boleh kita anggap sebagai sesuatu yang permanen. Ia adalah sesuatu yang harus dijaga, dipelihara, dan diperjuangkan setiap hari. Forum seperti IPSA inilah yang memperkuat benteng pertahanan kita bersama.”

Pembukaan panel dihadiri langsung oleh Kuasa Usaha Ad Interim/Wakil Kepala Perwakilan RI di Seoul, Ali Andika Wardhana, yang memberikan pidato inspiratif tentang resiliensi demokrasi Indonesia. "Indonesia adalah bukti bahwa inklusivitas dan keberagaman bukan penghalang demokrasi, tapi fondasinya," ucapnya.

Panel ini dipimpin oleh Chair Rudy Sukandar dan Co-Chair Evi Aryati Arbay dari London School of Public Relations (LSPR), dan menghadirkan tokoh-tokoh kunci seperti Dr. Djayadi Hanan (UIII), Dr. Julian Aldrin Pasha (UI), Mayor Jenderal TNI Dr. Oktaheroe Ramsi, dan Dr. Gamze Zengin (Turki). Diskusi berlangsung hangat dan substansial, menyentuh dinamika global termasuk ancaman autokratisasi, disinformasi, dan manipulasi digital. Inisiatif pembukaan panel Indonesia ini diinisiasi oleh Evi Aryati Arbay dan Rudi Sukandar dari LSPR Communication and Business Institute, sebagai bagian dari upaya memperkuat diplomasi akademik Indonesia di kancah global.

Mayor Jenderal Ramsi mengurai tajam peran aparat negara dalam demokrasi kontemporer. Ia menyoroti bagaimana hukum dan institusi bisa digunakan sebagai alat dominasi kekuasaan. "Ketika hukum menjadi instrumen politik, kita harus waspada akan kemunduran demokrasi," tegasnya.

Sementara Dr. Julian menekankan pada pentingnya membangun narasi demokrasi yang konstruktif, bukan sekadar reaktif. Sedangkan Dr. Djayadi menggarisbawahi perlunya sistem representasi yang setara agar suara publik benar-benar tersalurkan.

Panel ini juga menjadi panggung untuk menunjukkan kesiapan Indonesia menjadi tuan rumah IPSA mendatang. Delegasi Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia adalah contoh nyata demokrasi yang hidup, meskipun masih menghadapi berbagai tantangan.

Bukan tanpa alasan. Dengan pengalaman Reformasi, kompleksitas pluralitas, serta sistem politik yang adaptif, Indonesia layak menjadi pusat pembelajaran demokrasi di kawasan Asia bahkan global.

Melalui IPSA 2025, Indonesia menegaskan bahwa kekuatan global tidak hanya terletak pada ekonomi dan militer, tetapi juga pada ide dan pengetahuan. Diplomasi akademik menjadi senjata baru Indonesia untuk membangun pengaruh global secara berkelanjutan.

Forum ini bukan akhir, melainkan awal dari peran strategis Indonesia dalam membentuk masa depan demokrasi dunia yang lebih inklusif dan tangguh.

Kehadiran Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, dalam upacara pembukaan IPSA 2025 menjadi sinyal penting bahwa ilmu politik kini kembali menjadi panglima dalam percakapan publik. Dalam sambutannya, Presiden Lee menekankan pentingnya peran ilmu politik dalam menjawab krisis global dan merawat demokrasi. “Ilmu politik bukan hanya teori, tetapi kompas moral untuk mengarahkan masyarakat kita menuju keadilan dan keberlanjutan,” ujarnya di hadapan ribuan ilmuwan politik dari seluruh dunia.

Presiden IPSA, Prof. Dr. Bertrand Badie, turut menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar akademik, tapi ruang perlawanan terhadap kemunduran demokrasi global. “Kami menyaksikan kemunduran demokrasi di berbagai belahan dunia. IPSA hadir untuk menyatukan para pemikir politik lintas batas agar mampu menawarkan jalan keluar berdasarkan pengetahuan dan nilai-nilai universal,” jelasnya.

Indonesia membaca momentum ini dengan baik. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia, Indonesia punya posisi strategis untuk membangun arsitektur demokrasi yang lebih adil, adaptif, dan partisipatif. Di IPSA 2025, Indonesia hadir bukan hanya sebagai peserta, tapi sebagai suara.