trustnews.id

Kimia Farma Sungwun Pharmacopia dan Ketahanan Nasional Indonesia
Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk, Drs Pamian Siregar, Apt, MBA

Kimia Farma Sungwun Pharmacopia dibangun tidak hanya sekedar transfer teknologi dalam bahan baku obat. Tetapi juga membangun ketahanan nasional.
Beragam upaya dilakukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor bahan baku impor obat. Satu diantaranya melakukan kerjasama dengan farmasi dari luar negeri. Sebagai upaya alih teknologi dan alih pengetahuan tentang produksi Bahan Baku Obat. 
Langkah cerdik itulah yang digunakan PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) menggandeng Sungwun Pharmacopia Co Ltd, perusahaan farmasi asal Korea Selatan, dengan mendirikan perusahan patungan alias joint venture bernama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Adapaun komposisi pemegang saham yaitu 75% PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan 25% Sungwun Pharmacopia Co Ltd.
Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk, Verdi Budidarmo menyatakan, keberadaan KFSP difokuskan untuk pengembangan teknologi dan produksi bahan baku aktif obat.
“Keberadaan KFSP sebagai langkahawal pengembangan industri bahan baku obat dalam negeri. Jangan dilihat dari perspektif ekonomi atau perspektif bisnis saja, ada hal yang lebih besar lagi yakni ketahanan nasional,” ujarnya.
Verdi mengambil contoh kasus, Iran. Sebagai negara kaya minyak, meski diembargo bertahun-tahun, Iran tetap mampu bertahan sebagai sebuah negara. 
“Iran itu mau minyaknya di embargo bertahun-tahun tidak mengalami begitu banyak masalah. Tapi apa yang terjadi jika yang diembargo itu bahan baku obatnya, dampaknya akan jauh terasa. Iran tahu akan hal ini sebagai bentuk ketahanan nasionalnya,” paparnya.
Hal yang sama, lanjut Verdi, terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998. Saat itu nilai tukar Dollar AS naik tajam terhadap rupiah, sementara 95% bahan baku obat impor. Kondisi itu menyebabkan industri farmasi di tanah air ‘tiarap’.
“Ini yang dimaksud bahan baku obat sebagai ketahanan nasional. Krisis moneter 1998 menunjukkan betapa kita tidak punya ketahanan nasional. Ini penting kedepannya melalui KFSP,” paparnya. 
Sebagaimana diketahui, seluruh obat yang diproduksi di Indonesia 95% bahan bakunya berasal dari luar negeri. Sampai saat ini, impor bahan baku terbanyak saat ini berasal dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa.
Tingginya ketergantungan impor bahan baku obat ini akibat tidak kuatnya industri kimia dasar di Indonesia.Kurangnya daya saing dan tingginya biaya dalam pengembangan industri kimia dasar menjadi faktor penyebab.
Berdasarkan catatan TrustNews, nilai ekspor farmasi pada tahun 2017 tercatat sebesar 17.600 ton (US$554,92 juta). Di tahun 2018, angkanya kembali meningkat menjadi 25.770 ton (US$546,94 juta). Sedangkan impor, pada 2017 tercatat mencapai 26.160 ton (US$665,53 juta). Kemudian meningkat di 2018 dengan nilai 28.720 ton (US$715,57 ton). 
Melihat kondisi tersebut, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Peraturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tersebut diharapkan dapat mengangkat kegiatan investasi dan produksi farmasi dalam negeri, termasuk juga pengembangan riset dan teknologi dalam usaha farmasi.
Hal itu diperkuat dengan terbitnya Permenkes nomor 17 tahun 2017, ten￾tang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang memiliki tujuh poin dalam rencana aksi.
“Melihat kondisi itu kimia farma sebagai BUMN tentu ikut mendukung program tersebut. Maka didirikanlah KFSP tugasnya membantu percepatanteknologi pengembangan produk dan produksi bahan obat tersebut. Itu fokus utamanya sementara ini,” paparnya.
Upaya percepatan dalam bentuk kerja sama itu dilakukan, lanjutnya, dikarenakan ketiadaan teknologi pengembangan bahan baku obat. Untuk mengatasi masalah itu, diperlukan kerja sama dalam bentuk transfer teknologi. Dari beberapa negara yang dijadikan rujukan, pilihan jatuh ke Korea Selatan.
“Pilihan ke Korea Selatan lebih dikarenakan kedekatan culture dan siap membantu dalam pentransferan teknologi yang kita butuhkan,” ujarnya.
Produksi Bahan Baku Obat ini, lanjutnya, untuk memenuhi 100% kebutuhan seluruh industri farmasi di Indonesia untuk ke delapan bahan baku tersebut dan selebihnya untuk pasar ekspor.
Selain memproduksi Bahan Baku Obat Aktif (API), KFSP juga akan memproduksi High Function Chemical (HFC) yang dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetika dan  food suplement, yang seluruh hasil produk HFC ini akan di ekspor ke Korea, Jepang dan Amerika.
“Pembangunan industri Bahan Baku Obat itu jangan dilihat hanya dari perspektif ekonomi yaitu harga atau tingkat persaingannya, tapi harus dilihat ada ultimate goals yang lebih tinggi yaitu melindungi kebutuhan masyarakat dan ketahanan nasional”, pungkasnya.(TN)