trustnews.id

Tradisi Nyadran Kiai Kramat di Temanggung
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID,. - Buat Anda para pecinta kopi, rasanya perlu tahu tradisi unik yang satu ini, Nyadran Kiai Kramat. Ini merupakan tradisi tahunan yang masuk dalam Calender Event Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan rutin dilaksanakan masyarakat petani kopi di Desa Kembang Sari, Temanggung, Jawa Tengah. 

Tradisi ini rutin mereka lakukan setiap tahun terutama memasuki Bulan Muharram, tepat di Hari Jumat Kliwon. Keunikan tradisi ini, terletak pada rasa kebersamaan dan rasa syukur di antara para petani kopi ini yang sangat kental.  

Mereka secara bersama-sama, tua muda, besar kecil berbondong-bondong membawa sesaji tenong (wadah menaruh nasi) yang berisi makanan, seperti nasi nasi putih, ingkung ayam jantan kampung, jajanan pasar dan berbagai jenis makanan tradisional serta buah-buahan. Ada yang membawanya dengan memikul dan sebagian dijinjing. Mereka berbondong-bondong menuju makam Kiai Kramat yang posisinya terletak di Perbukitan Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. 

Kemudian bersama-sama juga berdoa untuk arwah leluhur, sekaligus memanjatkan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar panen kopi mereka mendapat hasil yang memuaskan. Diakhiri dengan makan bersama.    

Selain gelaran ini, setiap dua tahun sekali, tepatnya di Jumat Kliwon, Bulan Ruwah (Sya’ban) Warga Desa Kembangsari juga mengelar tradisi Nyadran Kambing atau menyembelih kambing. Tradisi ini juga merupakan bentuk rasa syukur dan kebersamaan yang digelar warga. Kambing-kambing ini disembelih juga di area Makam Kiai Kramat. 

Daging kambing setelah dimasak di sekitar makam kemudian dibagikan kepada masyarakat yang datang di tempat tersebut.    Daging kambing yang dibagikan harus dalam bentuk matang dan harus dimasak di sekitar makam. Mereka yang menyembelih kambing adalah masyarakat yang mempunyai nazar dan diberi kemurahan rezeki.  Mereka tidak hanya datang dari Desa Kembangsari, tetapi juga warga dari luar desa, bahkan dari luar Kabupaten Temanggung.        

Seperti dikutip Kompas.com, tradisi ini bermula dari kisah Pangeran Joyokusumo, bangsawan dari Mataram yang mengungsi ke Dusun Pete karena desakan Belanda.  Di daerah tersebut, Pangeran Joyokusumo yang berganti nama menjadi Sami hidup bersama istrinya, Saminah, serta menekuni profesi sebagai petani, bercocok tanam, dan beternak.        

Pada hari Jumat Kliwon, ketika Sami dan Saminah sedang menggembala, salah satu kerbaunya terperosok ke dalam tanah.  Sami berusaha menolong kerbau yang terperosok dengan mencari tali atau rotan dan menemukan kerangka seekor ular raksasa yang di dalamnya terdapat dua kerangka manusia.    Dua kerangka tersebut merupakan jasad Kiai Bogowonto dari Majapahit yang mati "sampyuh" dimakan ular raksasa.  

Kemudian Sami mengebumikan jasad Kyai dan Nyai Bogowonto di tempat tersebut yang sekarang dikenal dengan makam Kyai Kramat. Kerbau yang berhasil diangkat oleh Pangeran Joyokusumo kemudian disembelih dan disedekahkan kepada masyarakat.  Sejak saat itu sedekah kerbau menjadi tradisi masyarakat Dusun Pete. Namun, tanpa mengurangi makna sedekah dan karena alasan ekonomi, digunakanlah kambing sebagai gantinya.