trustnews.id

Revolusi Industri 4.0 & Robohnya Sekat Komunikasi
Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi (dua dari kanan) saat kunjungan kerja ke Nudira Farm di Pangalengan.

Kemajuan teknologi dan komunikasi membuka begitu banyak peluang di sektor hortikultura. Pertanian terkomputerisasi hingga sistem penjualan dalam genggaman tangan.

Roda Revolusi Industri 4.0 telah bergerak ke segala sektor kehidupan, termasuk hortikultura. Beragam istilah asing muncul, seperti Artificial Intellegence, Internet of Things, nanotechnology, Robotics dan sensor hingga 3D printing. Meski asing di telinga, justru memberikan berkah dengan berbagai peluang yang tercipta dari kemajuan teknologi, yakni lahirnya petani dari generasi millennial.
Perkebunan tomat cerry, tomat beef dan baby cucumber di Pengalengan, Jawa Barat, misalnya sudah menggunakan green house terkomputerisasi. Dalam green house seluas 2.600 meter persegi sudah dilengkapi dengan alat pengatur suhu, kelembaban CO2, pencahayaan, dan sirkulasi udara. Termasuk nutrisi untuk tanaman disalurkan dengan pipa-pipa irigrasi tetes. Hebatnya lagi, perkembangan tanaman tiap hari dipantau dan dikendalikan dengan komputer yang ada di ruang kontrol.
Berdasarkan kunjungannya ke Nuradi Farm itulah, dalam pembicaraan dengan TrustNews, Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Suwandi, mengatakan komoditas hortikultura termasuk sayuran nilai investasi perhektarnya relatif tinggi minimal 60 juta sampai 100 juta dengan returnnya jauh lebih tinggi lagi. Namun dengan penguasaan teknologi dapat memangkas besarnya investasi dan meminimalisir kegagalan masa tanam akibat faktor alam. 
“Pola penanaman dengan menggunakan high technology seperti di Pengalengan dan beberapa daerah lainnya, penerapan green house dengan komputerisasi memangkas biaya dan meminimalisir resiko tanam yang muncul akibat gangguan cuaca. Sebab semuanya sudah terukur bahkan sampai ke tingkat kemanisan dari tomat, misalnya 8 Brix, 9 Brix atau sesuai permintaan 12 Brix,” ujarnya.

Sebagai info, Brix adalah unit pengukur kemanisan gula dalam cairan. Nilai 1% Brix setara dengan 1 gram gula. Semakin tinggi nilai Brix, semakin tinggi kualitas dan tingkat kemanisan buah-buahan atau sayuran. 

Begitu juga dengan pola pemasarannya, sejumlah aplikasi terkait pertanian dan hasil pertanian bisa dengan mudah dijumpai sebagai sarana menjual hasil pertanian dan perkebunan, termasuk info-info bercocok tanam hingga penyediaan permodalan.
“Untuk pemasaran sudah ada sistem lelang internasional, sudah ada startup di smartphone seperti SayurBox, RegoPantes, Hara, PanenId, Petani, Pantau Harga dan banyak lagi. Petani tidak lagi repot memasarkannya seperti juga di Lampung dengan lengkeng merah, manggis pun sudah di ekspor ke China. Kondisi ini tentu diminati generasi muda untuk memanfaatkan perkembangan teknologi, produk bisa disesuaikan dengan selera pasar dan menguntungkan,” paparnya.
Bahkan menurutnya, secara tidak langsung Revolusi Industri 4.0, menurutnya, telah memberikan jawaban atas pertanyaan yang selama ini muncul di kalangan petani, perihal naik dan turunnya harga produk di pasaran.
“Harga bukan penyebab, tapi harga itu akibat. Jadi petani kita secara tidak langsung diajarkan sebab-sebab faktor pembentuk harga. Selama ini kita berkutat untuk menyelesaikan akibat, tapi tidak pernah menyelesaikan faktor penyebabnya,” tukasnya.
Solusinya, para petani hortikultura tak lagi bekerja sendiri-sendiri, tapi sudah mulai bergabung membentuk kelompok tani. Setelah membentuk kelompok tani, langkah berikutnya membentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) atau membentuk badan usaha baik itu CV atau PT. 
“Dengan memiliki badan hukum lebih mudah akses modal ke perbankan termasuk ke mitra-mitra pemasaran. Jangan lagi pakai ilmu sapu, kalau kerja sendiri lidi tidak akan bersih harus bersatu supaya kuat dan petani punya posisi tawar-menawar kuat tidak saja soal harga tapi juga distribusi, logistik dan tata niaga,” ujarnya.
Sinergi menjadi kata kunci, lanjutnya, sehingga tidak ada lagi cerita produsen kesulitan mencari pembeli atau pembeli kesulitan mencari pemasok. Untuk memutus mata rantai kebingungan tersebut, suwandi pun membentuk sejumlah grup, mulai dari grup petani, grup eksportir, grup pedagang dan grup pengolahan dengan tujuan saling berkomunikasi secara intens hingga setiap permasalahan mudah ditemukan jalan keluarnya.
Selain itu, lanjutnya, lembaga yang dipimpinnya juga menyediakan database pemasok-pemasok seluruh komoditas, database eksportir, database pedagang, database trader dan database pengolah.
“Kami membuang semua sekat dengan tujuan semua pihak saling bersatu dan berkomunikasi untuk memperkuat diri dan kerjasama yang saling menguntungkan. Ini terobosan yang kita lakukan,” pungkasnya.(TN)